Senin 30 Sep 2019 13:51 WIB

Literasi di Negeri Cincin Api

Risiko korban bencana terbesar ada pada perempuan dan anak-anak.

Rep: Achmad Syalaby Ichsan/ Red: Irwan Kelana
Sucipte dan keluarga.
Foto: Ahmad Syalabi/Republika
Sucipte dan keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Suasana haru menyelimuti keluarga kecil di Punia Saba, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sucipte, sang ayah, memeluk tiga buah hati beserta istrinya. Pria itu mencoba tenang setelah menemukan keluarganya yang sempat hilang. Mereka ternyata mengungsi ke rumah familinya karena takut akan isu  tsunami. 

Anis, Bairuha, Sidna mengikuti ibu mereka, Yusdiana untuk mengungsi. Isu tsunami  membuat mereka harus mencari tempat yang lebih tinggi. Yusdiana panik karena Sucipte tidak ada di rumah. Suaminya sedang pergi ke Kecamatan Gangga di Kabupaten Lombok Utara (KLU). Daerah itu lantak akibat gempa bumi yang terjadi pada 5 Agustus 2018 lalu. Ribuan rumah hancur dan ratusan warga tewas. Sebagai relawan, Sucipte pun segera meluncur ke lokasi gempa. Dia terpaksa meninggalkan keluarganya di rumah. 

Saat mengungsi, Bairuha sempat muntah. Dia kaget dan takut karena pagi-pagi buta harus berlari mencari dataran tinggi. Untuk menenangkan trauma, Sucipte membacakan kisah-kisah Nabi dan dongeng anak. Kali ini, pegiat literasi itu bercerita tentang Nabi Yunus. Petualangan utusan Tuhan yang sempat dipaksa lompat ke dalam laut  membuat Anis dan Bairuha penasaran.  Sementara, Sidna yang belum berusia setahun masih hinggap di pelukan ibunya. Rasa ingin tahu Anis yang duduk di Kelas 1 SD itu  kian menjadi ketika Nabi Yunus masuk ke dalam perut paus. “Bagaimana nasib Nabi Yunus, Yah?” tanya dia. 

Dalam cerita itu, Nabi Yunus selamat. Paus memuntahkannya sehingga keluar dari perut. Sucipte juga mengulas hikmah di balik peristiwa masuknya Nabi Yunus ke dalam perut paus. Saat dalam cobaan dan musibah, tidak boleh panik. Sucipte bercerita, Nabi Yunus tetap tenang. Dia bahkan berzikir dan berdoa padahal situasi sedang kritis. “Jadi jangan panik kalau ada gempa, Harus tetap tenang,”kata dia saat berbincang dengan Republika, pekan lalu. 

Belum puas dengan kisah Nabi Yunus, Anis dan Bairuha meminta ayahnya membacakan kisah lain. Sucipte pun memilih cerita Nabi Daud. Dengan tubuhnya yang kecil, Nabi Daud berani menantang penguasa zalim. Hanya dengan ketapel, Daud  mampu mengalahkan si raksasa Jalut. Kisah Nabi Daud ini pun bisa membangkitkan kepercayaan diri anak-anaknya yang sempat trauma. “Anak-anak suka dan traumanya perlahan hilang. Mereka pun lupa kalau baru gempa,” jelas dia. 

Selain rajin membacakan kisah nabi, Sucipte kerap mengingatkan anak-anaknya tentang gempa yang datang tanpa diundang. Di dalam rumahnya, dia mengabsen benda-benda yang berpotensi akan menimpa. Genteng, plafon, tembok, hingga lemari menjadi bagian kecil daftar yang harus dihindari. Dia pun mendidik anaknya agar langsung pergi ke luar rumah untuk menghindari reruntuhan akibat gempa. “Kalau di dalam gedung bahaya. Di luar tidak bahaya. Mereka menerima dengan baik karena bahasanya konkret,” jelas dia. 

photo
Panduan dari Dedikbud dalam menghadapi gempa.

Tidak hanya itu, Sucipte kerap mengumpulkan keluarganya  untuk kemping di halaman rumah. Setiap akhir pekan, mereka akan mendirikan tenda dan membakar api unggun. Sucipte hendak mendidik anak dan istrinya agar tetap survive ketika bencana tiba. Mereka akan terbiasa untuk hidup di tenda darurat.

Didikan Sucipte terbilang efektif. Ketika ada gempa lanjutan terjadi, keluarga mereka tetap tenang dan tahu apa yang harus dilakukan.“Kalau ada gempa, Anis itu mengajak teman-teman mainnya ke luar rumah. Mereka lari ke lapangan,” kata dia. 

Berada di jalur lingkar cincin api Pasifik sekaligus tumpukan lempeng tiga benua membuat Indonesia amat rentan  terhadap rerupa bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2018 ada 2.572 berbagai jenis bencana dari gempa bumi, banjir bandang, tsunami, hingga puting beliung.  Sebanyak 4.814 korban tewas,  sementara lebih dari 10 juta orang mengungsi.  

Pada tahun ini, tren kebencanaan pun cenderung meningkat. Data sementara hingga Semester 1-2019, ada 2.227 bencana yang terjadi. Sebanyak 338 orang tewas,  sementara lebih dari dua juta lainnya mengungsi. Data ini bisa membengkak mengingat Halmahera Selatan dan Ambon juga diterjang gempa belum lama ini.  

photo
Panduan menghadapi bencana gempa  bumi.

Risiko korban bencana terbesar  ada pada perempuan dan anak-anak. BNPB melansir bahwa  golongan ini berisiko meninggal dunia 14 kali lebih besar ketimbang pria dewasa. Di Indonesia, sebanyak 60-70 persen korban bencana adalah perempuan dan anak-anak serta lanjut usia. 

Untuk mengurangi risiko tersebut, mitigasi bencana pun harus dilakukan. Salah satu strateginya dimulai dari keluarga.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan mitigasi ini  sejalan dengan program budaya literasi keluarga (Bulike). 

Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud, Dr Sukiman mengungkapkan,   Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku selalu digaungkan dari tahun ke tahun. Upaya ini diharapkan memperbaiki tingkat literasi anak-anak Indonesia. Rendahnya peringkat literasi bangsa ini terlihat dari studi yang dilakukan Central Connecticut State University tahun 2016  (peringkat 60 dari 61 negara) dan Organisation Economic Coopreation and Development (OECD) tahun 2015 (peringkat 62 dari 70 negara). Menurut dia, peningkatan literasi dari sel terkecil di keluarga akan berpengaruh terhadap pengurangan risiko bencana. 

Kemendikbud juga membuat informasi berupa infografis dan pesan pendek  berisi keberagaman bencana. Contohnya yakni infografis Panduan Menghadapi Bencana.  Informasi ini disebar ke keluarga-keluarga lewat media sosial. Salah satu infografis yang disosialisasikan yakni bertajuk ‘Panduan Menghadapi Gempa’. 

Info sederhana itu berisi tentang langkah-langkah keluarga ketika gempa terjadi. Pertama, menghentikan segala aktivitas dan mencari perlindungan. Berikutnya, mengumpulkan anggota keluarga dan membuat rencana evakuasi. Anggota keluarga mesti membawa  air, makanan, senter dan obat-obatan. Instruksi selanjutnya adalah memperhatikan rute evakuasi dan informasi dari otoritas setempat. Saat melihat tanda-tanda tsunami dan mendapat informasi tentang itu, segera ke tempat tinggi. “Keluarga bisa lebih siap ketika bencana datang,”ujar Sukiman. 

photo
Kegiatan trauma healing.

Untuk kegiatan trauma healing, Sukiman mengaku kerap bekerja sama dengan para pendongeng dan relawan. Ketika gempa dan tsunami Palu, dia memimpin langsung tim untuk memberikan trauma healing. Bekerjasama dengan PKBM Mitra Edukasi Kota Palu dan komunitas pendongeng, tim ini mencoba menyembuhkan trauma dari bencana. Kegiatan yang berlangsung selama lima hari itu mencoba untuk mengajak anak melupakan trauma saat bencana. Mereka juga mengajak anak-anak untuk menggambar dan mewarnai. 

Sukiman juga mengungkapkan, pihaknya berupaya merangkul para aktivis dan relawan pendidikan untuk ikut melakukan literasi bencana. Salah satunya yakni Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip). Ketua Kerlip Yanti Sri Yulianti menjelaskan, untuk membuat masyarakat sadar akan bencana, mereka membuat program desa wisma. Ada 24 desa wisma di Jawa Barat yang tersebar di beberapa daerah dengan  rekam jejak bencana. Beberapa di antaranya ada di Tasikmalaya, Pangandaran, Sukabumi, Ciamis, hingga Garut.  “Kami membuat buku saku dan pelatihan yang didanai oleh Kemendikbud,” ujar Yanti saat berbincang dengan Republika

Untuk memaksimalkan program literasi, mereka bekerja sama dengan para mahasiswa lulusan Pascasarjana Jepang yang menjadi penyuluh. Para mahasiswa itu berasal dari beberapa kota seperti Kyoto, Waseda, Tokyo dan sebagainya. Yanti menganggap, Jepang terbilang sukses menerapkan budaya mitigasi bencana kepada warganya. Ini terlihat dari rendahnya jumlah korban jiwa ketika bencana menyapa negeri Sakura. 

Menurut Yanti, salah satu fasilitator tersebut juga sempat tinggal di umahnya, di Bandung. Mereka mengajak anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak (TK) untuk membuat peta denah rumahnya. Peta itu menjadi panduan jalan keluar ketika gempa tiba. Yanti mengungkapkan, para fasilitator berupaya maksimal agar pesannya bisa diterima anak. “Mereka bahkan sampai pakai kostum Doraemon,”ujar dia. 

Bersama anggota keluarga, mereka pun mendata beberapa benda yang berisiko menimpa ketika ada gempa. Mereka juga mencari solusi untuk meminimalisir resiko ketika benda itu jatuh. “Lemari televisi kami sudutnya runcing. Kemudian ditempeli bekas potongan ban. Kabel-kabel dipindah ke pinggir kemudian dipasangi klep. Jadi anak enggak akan tersandung kalau lalu lalang,”kata dia. Tidak hanya itu, mereka membuat daftar benda yang wajib dibawa saat mengungsi ketika terjadi gempa. “Misalnya kakak bawa dokumen penting. Adik bawa boneka. Itu kami latih,” jelas dia. 

Sucipte juga termasuk pegiat literasi yang rajin berkeliling ke sekolah-sekolah. Lewat program inovasi bersama Kedutaan Besar Australia, Sucipte berkeliling ke Bima. Dia mengajarkan anak-anak SD bagaimana cara untuk mengantisipasi banjir. Sucipte mengajari mereka teknis untuk survive ketika terjadi bencana. Mereka juga dituntut untuk melakukan persiapan singkat. “Alhamdulillah ketika terjadi musibah banjir tidak ada korban jiwa,”kata dia. 

Selain itu, Sucipte  mendidik anak-anak agar mencegah datangnya banjir. “Kita jelaskan bahwa kalau mereka berperilaku buruk akan berdampak buruk. Contohnya,  kalau berbuat dosa akan ada balasannya,” tambah Sucipte. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement