Rabu 25 Sep 2019 13:47 WIB

Mempertahankan Batik dengan Pewarna Alami

Perkembangan zaman membuat perajin memilih jalan pintas memakai pewarna sintetis.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
Pengrajin batik.   (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habib
Pengrajin batik. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada yang menarik dari pameran batik yang digelar di Gedung Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI, Selasa (24/9). Pameran ini memboyong batik 'Warlami' atau Warna Alami Indonesia.

"Semua batik produksi Warlami adalah batik yang diproduksi dengan warna-warna alami, dan warnanya awet hingga berpuluh tahun," ujar Ketua Warlami, Myra Widodo.

Baca Juga

Menurut Myra, Warlami sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Hingga saat ini, Warlami sudah lima tahun berdiri. Bahkan sejak dulu, nenek moyang dulu pun sudah menggunakan warna alami dalam membatik atau menenun.

Sayangnya, semakin berkembanganya zaman dan kebutuhan membuat banyak pengrajin yang memilih jalan pintas untuk menggunakan pewarna sintetis. Namun dibalik keuntungan yang besar, pewarna sintetis ini tidak ramah lingkungan.

“Kalau mereka yang sudah melupakan, kita ajarkan lagi, kita bangkitkan kembali dengan pelatihan. Kadang-kadang mereka lupa warisan budaya mereka dan Warlami datang menggali lagi dengan pemuka-pemuka di sana,” ungkap Myra.

Warlami melihat potensi alam di Indonesia masiih memungkinkan sekali untuk membangkitkan warna alami bagi batik dan tenun Indonesia. Hendaknya penggunaan warna alami sebagai tradisi justru dikembangkan, bukan malah dilupakan.

“Ada sih cara pewarnaan yang memakai teknologi, tapi bahan bakunya import, padahal kita punya potensi alam yang luar biasa. Nah kita ini Warlami yang merangkul semua grasi ini, supaya kita memperkuat, dan jangan balik lagi ke sintetis,” papar Myra.

Ia menyebut hampir sekitar 90 persen pengrajin Indonesia ini memakai sintetis. Sebenarnya ini tidak baik karena merupakan pencemaran lingkungan dan tidak bagus untuk kesehatan.

Perajin Warmali saat ini berasal dari seluruh Indonesia, seperti di pedalaman Kalimantan, Sumatera, Jawa, NTT, dan NTB. Pihaknya saat ini membutuhkan dukungan agar Warlami bisa merangkul para perajin tersebut.

“Tentu tidak bisa sekali datang, itu perlu latihan untuk mengangkat kembali. Dan kita juga melakukan pendampingan sampai mereka kuat, dan juga memotivasi mereka untuk kembali ke produk warisan budaya ramah lingkungan dengan warna alami ini,” ucap Myra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement