REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seksisme yang meluas memicu kesehatan mental yang buruk di kalangan wanita. Sebuah studi menunjukkan, sebanyak 20 persen dari sekitar 3.000 wanita yang disurvei pernah mengalami diskriminasi berbasis jenis kelamin. Seksisme sendiri merupakan perlakuan diskriminasi dan atau prasangka terhadap seseorang yang berbasis gender.
Survey tersebut dilakukan University College London, seperti dikabarkan Huff Post, Selasa (10/9). Peserta yang disurvei memberikan informasi tentang pengalamannya ketika mengalami seksisme dan kaitannya dengan kesehatan mental mereka. Survei di lakukan pada tahun 2009 sampai 2010 kemudian dilanjutkan pada tahun 2013 sampai 2014. Penelitian ini berlangsung sebelum gerakan #MeToo dipopulerkan di media sosial pada tahun 2017.
Dari survey tersebut ditemukan, wanita yang mengalami seksisme tiga kali lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami seksisme. Contoh diskriminasi yang diterima beragam, mulai dari penghinaaan hingga penyerangan secara fisik yang mengakibatkan korban enggan dan takut melewati tempat-tempat tertentu karena merasa tidak aman.
Sejumlah tempat yang umum terjadi tindakan diskriminasi gender, antara lain di jalan, angkutan umum, pusat-pusat transportasi seperti stasiun bus atau kereta api, sekolah, tempat kerja bahkan di rumah.
Ironinya, wanita yang dilaporkan mengalami seksisme cenderung lebih muda dan lebih berkulit putih, serta berpendidikan lebih tinggi setidaknya memiliki gelar sarjana. Selain itu, mereka yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih tinggi juga tak luput dari perlakuan seksisme.
Tim peneliti dari UCL, Dr Ruth Hackett mengatakan, perlakuan seksisme dapat menjadi penghalang seseorang utamanya perempuan untuk menerapkan gaya hidup sehat yang meningkatkan kesejahteraan mental. Pada akhirnya, seksisme mendorong perempuan menjalani gaya hidup yang tidak sehat.
Sebagai contoh, korban seksisme akan menghindari melakukan aktifitas fisik atau berolahraga di lingkungan yang mereka anggap tidak aman dan itu tentunya akan menghambat aktivitas fisik wanita tersebut.
“Tindakan diskriminasi yang terus berulang juga memicu stres berkelanjutan yang dapat mengganggu proses biologis normal,” kata Hacket.