REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Ballarat Ethical Fashion Festival yang digelar di Melbourne, Australia, berupaya untuk memberikan inspirasi bagi dunia fasyen agar tak lagi merusak lingkungan dengan limbah pakaian. Tema itu diangkat menyusul krisis limbah pakaian yang disebabkan oleh salah satu merek pakaian ternama asal Amerika Serikat (AS).
Pertemuan itu berupaya untuk mengampanyekan bahwa membuang pakaian itu adalah sebuah tindakan yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Tagline yang digaungkan adalah "restyle, reuse and repair".
Pembicara dalam acara itu, Clare Press, mengingatkan bahwa kalau pola industri fasyen dan cara masyarakat menggunakan pakaian tak berubah, maka pakaian akan menyumbang setengah karbon yang ada di dunia pada 2050.
"Kita hanya perlu untuk memutuskan agar tak lagi membeli yang baru dan membuang pakaian yang lama," ucap Press seperti dikutip thecourier.com.au, Jumat (6/9).
Berdasarkan data Clothing Exchange, warga Australia membelanjakan uang sekitar 1,7 miliar dolar (16 triliun rupiah) untuk membeli pakaian yang malah tidak digunakan. Sedangkan untuk pakaian yang dibuang warga Negeri Kangguru itu sekitar 80 persennya masih 75 persen pantas untuk dipakai.
"Bagaimana kalau kita berhenti fokus pada pembuatan dan penjualan pakaian, lalu mulai fokus untuk mencari cara agar bisa menggunakan pakaian yang sudah ada?" ucapnya.
Berdasarkan survei YuGov, satu dari enam orang membuang pakaiannya yang baru sekali digunakan. Survei ini dilakukan tahun lalu.
"Ini adalah ketidakefisienan dan pemborosan. Bukan hanya pemborosan sumber daya material, tetapi juga sumber daya kreativitas dari para desainer, pembuat, hingga penjual," ujar Press.