REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial hari ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan yang dilakukan, tidak puas rasanya kalau belum diunggah ke media sosial. Namun, berlebihan mengunggah kegiatan, apalagi data pribadi, bisa memicu terjadinya kejahatan.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Ferdinandus Setu, mengatakan unggahan data pribadi di media sosial (medsos) bisa memicu adanya tindak kejahatan berupa penyalahgunaan data pribadi. Kemenkominfo mengimbau masyarakat tidak terlalu vulgar dalam mengunggah informasi pribadi mereka di medsos.
Hal ini disampaikan dirinya menanggapi kasus dugaan pemalsuan data pribadi seorang pria di Jawa Timur (Jatim). Pria bernama Adi itu diminta melunasi tunggakan hutang perusahaan yang bukan miliknya senilai Rp 32 miliar.
Meski belum jelas siapa yang berada di balik tindakan dugaan pemalsuan ini, Ferdinandus mengimbau masyarakat berhati-hati kepada keamanan data pribadi mereka. Sebab, masyarakat sering bersikap terlalu terbuka menyampaikan informasi data pribadi di akun medsos masing-masing.
"Siapa ada yang terlalu vulgar (menyampaikan data diri) di medsos. Sehingga terbuka orang untuk memalsukan data dari medsos tersebut," ujar Ferdinandus ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/8).
Dia mencontohkan, masyarakat memasang informasi soal nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, profesi dan lokasi kantor. "Kemudian kalau ada pula yang mengunggah foto KTP-el nya. Sehingga yang seperti itu bisa digunakan untuk kejahatan, " tegasnya.
Karena itu, pihaknya mengimbau warganet bijaksana dalam bermedsos. Data pribadi yang diunggah di medsos sebaiknya tidak disampaikan secara berlebihan.
"Jangan mengumbar data pribadi secara berlebihan di medsos karena berpotensi data pribadi itu akan disalahgunakan oleh pihak tertentu," tuturnya.
Lebih lanjut, Ferdinandus pun mengingatkan bahwa masyarakat bisa mengadukan kasus dugaan pemalsuan atau penyalahgunaan data pribadi kepada Kemenkominfo. Aduan itu bisa disampaikan lewat alamat email resmi [email protected].
Namun, dia mengimbau agar aduan disampaikan secara detail. Tujuannya agar mudah ditindaklanjuti oleh Kemenkominfo dan mempermudah proses penyidikan kepolisian.
"Sebab di era digital saat ini terkadang aduan yang disamapikan tidak pernah disertai detailnya. Sehingga penyelesaiannya ribet. Jadi harus detail supaya polisi juga mudah melakukan menelusurinya, " tambahnya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakhrulloh, mengatakan saat ini data kependudukan masyarakat tersebar di mana-mana. Namun, bukan berarti data itu dikeluarkan oleh pihak atau instansi lain.
"Jadi bukan dikeluarkan (oleh pihak lain), melainkan dikumpulkan oleh lembaga lain. Misal data kita ada di bank, kampus, asuransi, polri, pajak, di hotel, di klub olahraga, di KPU, dll, " tambahnya.
Zudan menegaskan bahwa Dukcapil Kemendagri memang tidak bisa menjaga data pribadi penduduk yang berada di luar sistem mereka. Dirinya hanya bisa memastikan bahwa pusat data Dukcapil Kemendagri masih aman dan tidak ada masalah.
Sebelumnya, seorang laki-laki asal Jatim mengaku terkejut ketika petugas pajak mendatangi rumahnya dan menuduhnya menunggak pajak sekitar Rp 32 miliar. Pajak itu terkait dengan transaksi bisnis enam perusahaan yang menggunakan namanya.
Untuk keamanan, nama laki-laki ini dirahasiakan, dikutip ABC.net.au, Kamis, ia hanya disebut Adi (43). Adi mengaku tidak pernah mendirikan perusahaan atau bahkan meminjam uang. Ia menduga data rahasia kependudukan miliknya disalahgunakan pihak tertentu.
"Transaksi tersebut melibatkan enam bisnis yang berbeda, mulai dari pertanian hingga tekstil - semuanya," ujar Adi kepada media Australia itu, Rabu (7/8).
Kasus dan klaim Adi masih dalam penyelidikan pihak berwenang Indonesia. Pengamat menunjukkan serangkaian titik lemah dalam fasilitas penyimpanan data digital negara yang mungkin berkontribusi terhadap situasi seperti itu.
Sebagai contoh, saat ini, salah satu basis data nasional Indonesia yang menyimpan data jutaan warga memiliki banyak kekhawatiran tentang penyimpanan informasi sensitif seperti nama, alamat, nomor identitas nasional, nomor file pajak, biometrik, jenis kelamin dan agama.