REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teater berlatar budaya Jawa bertajuk Kirana akan dipentaskan 23-25 Agustus 2019 di Gedung Kesenian Jakarta. Tak hanya budaya Jawa yang kental, budaya modern khas kota besar juga akan disuguhkan. Teater ini akan memadukan keduanya.
Budaya Jawa diambil dari pengalaman sang penulis naskah Hadyus Santoso yang mengunjungi Desa Tembi, Yogyakarta. Selama satu pekan Hadyus hidup layaknya masyarakat desa Tembi yang menurutnya sangat Jawa otentik.
"Cara membatik, wayang, keramik, dan segala macamnya ada. Aktivitas sehari-hari benar-benar Jawa otentik. Bangun pukul 5 pagi, jadi petani. Desa Tembi ini merupakan tempat tinggal abdi dalem Keraton yang bekerja, mengabdi tanpa dibayar," kisahnya.
Menurut Hadyus, desa Tembi adalah simbol kesederhanaan dan kesetiaan yang nyata. Selain itu, masyarakatnya juga menjunjung tinggi ketulusan dan nilai moral.
Saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Ada pergeseran budaya menjadi narsisme dan individualisme di generasi milenial. Dari isu ini, Hadyus bersama Teater Spotlight tertantang mengemasnya dengan cara yang menyenangkan dan mudah diterima milenial.
Kesulitan pun sempat dialami oleh Martini Murni, konsultan dan pelatih budaya Jawa bagi para pelakon Kirana. Menurutnya, tak mudah mengajarkan budaya Jawa yang begitu banyak dalam waktu yang singkat.
"Tidak bisa seminggu, dua minggu. Dikenalkan perlahan. Mulai dari batik, wayang, harus sedikit-sedikit diberitahu filosofinya apa. Belum lagi topeng, tari. Harus bertahun-tahun mempelajarinya," jelasnya.
Sambil berkelakar, ia mempertanyakan mengapa baru sekarang ada pentas seperti ini. "Sempat mempertanyakan ke Spotlight, kenapa baru sekarang? Tapi tetap bersyukur setidaknya sudah ada usaha. Yah begitulah orang Jawa. Mau bagaimana juga tetap bersyukur," katanya.