Senin 29 Jul 2019 16:25 WIB

Masyarakat Masih Kesulitan Membedakan Obat Palsu dengan Asli

Tak sedikit masyarakat yang sulit membedakan obat palsu dengan obat asli.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas memperlihatkan barang bukti obat-obatan saat rilis pengungkapan kasus tindak pidana peredaran yang diduga palsu dan obat keras ilegal di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (18/9).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Petugas memperlihatkan barang bukti obat-obatan saat rilis pengungkapan kasus tindak pidana peredaran yang diduga palsu dan obat keras ilegal di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (18/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh kasus peredaran obat palsu di 197 apotek yang berada di Semarang. Mengapa fenomena obat palsu terus terjadi?

Kasus peredaran obat palsu di Indonesia sudah ditemukan sejak puluhan tahun lalu. Salah satu alasan mengapa obat palsu masih terus ada di tengah masyarakat adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan obat palsu. Ketidaktahuan masyarakat mengenai obat palsu inilah yang kemudian dimanfaatkan para pemalsu obat untuk terus membuat dan mengedarkan obat palsu.

Baca Juga

"Hal-hal seperti inilah (ketidaktahuan masyarakat soal obat palsu) yang dipakai sebagai celah oleh para penjahat kejahatan pemalsuan obat," ungkap Direktur dan Konsultan Senior Inke Maris & Associate Widyaretna Buenastuti Wihardijono usai menjalani sidang promosi doktor di Universitas Pelita Harapan, Sabtu (27/7).

Widyaretna mengatakan, masyarakat Indonesia masih kurang teredukasi terkait obat palsu. Tak sedikit masyarakat yang sulit membedakan obat palsu dengan obat asli. Sebagian masyarakat bahkan tidak sadar ketika mendapatkan obat palsu.

Berdasarkan survei yang Widyaretna lakukan, sebanyak 94,1 persen responden menyatakan tidak mengetahui perbedaan antara obat asli dan obat palsu. Hanya 5,9 persen responden saja yang menyatakan bahwa mereka tahu perbedaan antara obat asli dan obat palsu. Para responden yang mengetahui perbedaan obat asli dan palsu ini kebanyakan memiliki latar belakang profesi di bidang farmasi ataupun kesehatan.

"Masyarakat masih belum teredukasi soal pemalsuan obat ini hingga mereka susah membedakan obat palsu dan obat asli," ungkap Widyaretna.

Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga cenderung memiliki budaya 'pemaaf' dan permisif terhadap obat palsu. Berdasarkan survei, hanya 7,14 persen responden yang menyatakan akan melaporkan kecurigaan obat palsu kepada pihak yang berwenang.

Edukasi kepada masyarakat terkait obat palsu tentu perlu lebih ditingkatkan. Berdasarkan penelitian, Widyaretna mengatakan hanya ada sekitar 75 persen perusahaan yang memiliki program edukasi terkait pemalsuan obat kepada masyarakat.

"Tapi (program edukasi ini) tidak dilakukan secara proaktif, kolaboratif, dan sistematik," jelas Widyaretna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement