Kamis 25 Jul 2019 09:46 WIB

Parasit Malaria Resisten Obat Menyebar di Asia Tenggara

Penderita malaria resisten obat tak bisa ditolong dengan obat lini pertama.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Nyamuk Malaria
Foto: ABC News
Nyamuk Malaria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim penelti dari Inggris dan Thailand menemukan adanya penyebaran parasit malaria resisten obat yang cepat di Asia Tenggara. Penderita yang terjangkit malaria resisten obat ini tak lagi dapat diobati dengan obat lini pertama.

Kasus pertama dari parasit malaria resisten obat pertama kali ditemukan pada 2013. Dalam kasus ini, penderita tidak dapat diobati dengan kombinasi obat artemisinin dan piperaquine yang biasa digunakan untuk mengobati malaria.

Penyebaran parasit malaria resisten obat di Asia Tenggara ini didapatkan dari sebuah studi yang dimuat dalam jurnal Lancet Infectious Diseases. Dalam studi ini, tim peneliti menganalisis sampel darah dari pasien-pasien yang berasal dari Asia Tenggara.

Dari pemeriksaan DNA parasit, ditemukan bahwa parasit malaria resisten obat sudah menyebar di Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam. Pada beberapa wilayah, sekitar 80 persen dari kasus malaria bahkan disebabkan oleh parasit malaria resisten obat.

"Strain ini telah menyebar dan menjadi lebih buruk," ungkap peneliti Dr Roberto Amato dari Wellcome Sanger Institute, seperti dilansir BBC.

Meski menjadi resisten obat, kasus malaria ini tetap bisa diobati. Obat-obat yang digunakan adalah alternatif dari terapi lini pertama. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan obat yang berbeda bersamaan dengan artemisinin atau menggunakan kombinasi tiga obat.

Kemunculan parasit malaria resisten obat ini tentu mengancam upaya eliminasi malaria yang saat ini pencapaiannya sudah cukup baik. Keberadaan parasit malaria resisten obat juga dikhawatirkan akan menyebar ke Afrika dan kembali bermutasi.

"Strain parasit resisten obat ini mampu menyerbu wilayah baru dan mendapatkan sifat genetik yang baru," jelas Prof Olivo Miotto dari Wellcome Sanger Institute dan University of Oxford.

Tim peneliti mengatakan upaya menghadapi malaria tidak hanya mengenai pemilihan obat yang tepat setelah seseorag terinfeksi. Kontrol terhadap nyamuk juga tetap diperlukan untuk mengendalikan penyebaran penyakit. Melihat adanya mutasi pada parasit malaria, tim peneliti juga menilai obat-obat yang diberikan kepada pasien malaria perlu diubah.

Meski terjadi mutasi, tim peneliti mengatakan secara umum populasi parasit malaria mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari menurunnya kasus malaria yang di Kamboja. Di Kamboja, kasus malaria yang berjumlah sekitar 262 ribu pada 2008 menurun menjadi sekitar 36.900 kasus pada 2018.

Oleh karena itu, tim peneliti menilai adanya penyebaran parasit malaria resistensi obat tidak memberi implikasi yang besar. Penyebaran ini tidak serta-merta menjadi ancaman kesehatan global.

"Implikasinya tidak seberat yang kita mungkin pikirkan," jelas Prof Colin Sutherland dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Setiap tahun, diperkirakan ada sekitar 219 juta kasus malaria di dunia. Gejala dari malaria bisa berupa merasa kedinginan dan menggigil yang diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang tinggi. Penderita malaria juga bisa merasakan gejala berkeringat yang berat.

Bila tak diobati, malaria bisa menyebabkan masalah pernapasan dan gagal organ. Setiap tahun, tercatat ada sekitar 435.000 kasus kematian akibat malaria di mana sebagian besar di antaranya merupakan anak-anak di bawah usia lima tahun.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement