Rabu 24 Jul 2019 17:04 WIB

Polusi Dapat Picu Kematian dan Hilangnya Harapan Hidup

Polusi yang ditandai konsentrasi rendah PM2.5 pun bisa picu kematian.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Senin (8/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menghirup polusi udara yang buruk tentu saja bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Polusi ternyata juga memengaruhi kematian dan hilangnya harapan hidup masyarakat.

Belum lama ini, sebuah studi yang dilansir laman Science Daily mengungkap bahwa kualitas udara di Amerika Serikat (AS) telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan rendahnya harapan hidup masyarakat. Temuan itu merupakan hasil penelitian dari Imperial College London dan Pusat Solusi Udara, Iklim, dan Energi di Carnegie Mellon University.

Baca Juga

Studi yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine itu menganalisis konsentrasi partikel-partikel halus di udara, yang disebut PM2.5, di semua negara di AS yang berdekatan, tidak termasuk Alaska dan Hawaii, antara tahun 1999 dan 2015. Partikel-partikel ini terutama berasal dari mobil, pembangkit listrik, dan industri.

Partikel polusi itu diketahui berbahaya bagi kesehatan. Partikel kecil, berukuran sekitar 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia, dapat terhirup ke paru-paru dan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai masalah kesehatan, sebut saja serangan jantung dan berbagai bentuk penyakit paru-paru.

Jumlah polusi partikel halus ini di AS telah menurun sejak 1999. Standar PM2.5 tahunan AS saat ini ditetapkan 12 mikrogram per meter kubik udara (ug/m3). Konsentrasi PM2.5 tertinggi selama periode penelitian adalah 22.1ug /m3, pada tahun 1999, di Fresno County, Kalifornia.

Profesor Majid Ezzati, penulis utama penelitian dari Imperial's School of Public Health mengatakan, ia telah mengetahui selama beberapa waktu bahwa partikel-partikel ini dapat mematikan. Penelitian ini menunjukkan bahkan pada konsentrasi yang tampaknya rendah masih menyebabkan puluhan ribu kematian.

"Konsentrasi PM2.5 AS umumnya lebih rendah daripada yang ada di banyak kota di Eropa dan menunjukkan kemungkinan bahwa sejumlah besar kematian di Eropa juga terkait dengan polusi udara," kata Ezzati.

Penelitian menunjukkan bahwa polusi udara dikaitkan dengan sekitar 15.612 kematian pada wanita dan 14.757 kematian pada pria. Kematian berasal dari kondisi kardiorespirasi, yang mengacu pada gangguan jantung dan paru-paru, seperti serangan jantung dan berbagai penyakit paru-paru, termasuk asma.

Kematian ini akan menurunkan harapan hidup nasional AS sebesar 0,15 tahun untuk wanita, dan 0,13 tahun untuk pria. Kehilangan harapan hidup akibat PM2.5 adalah terbesar di sekitar Los Angeles dan di beberapa negara bagian selatan, seperti Arkansas, Oklahoma dan Alabama.

Pada 2015 konsentrasi tertinggi adalah di Tulare County, California (13.2ug/m3), dengan jumlah terendah tercatat di Apache County, Arizona (2.8ug/m3).

Hilangnya harapan hidup ditemukan lebih besar di negara-negara dengan pendapatan lebih rendah daripada di negara-negara kaya. Karenanya, menurunkan standar PM2.5 di bawah level saat ini dinilai memungkinkan untuk meningkatkan kesehatan negara AS dan mengurangi kesenjangan kesehatan.

Dalam studi tersebut, tim peneliti, baik dari Pusat Solusi Udara, Iklim dan Energi menilai data dari lebih dari 750 stasiun pemantauan kualitas udara dari seluruh AS dan menggabungkannya dengan sumber data polusi udara lainnya, seperti gambar satelit. Tim kemudian menggabungkan hal itu dengan jumlah kematian dari Pusat Statistik Kesehatan Nasional.

Ada total 41,9 juta kematian antara tahun 1999 hingga 2015 di AS, dengan 18,4 juta kematian ini disebabkan oleh penyakit kardiorespirasi. Terdapat bukti kuat adanya hubungan dengan polusi udara.

Menggunakan serangkaian model statistik (kode komputer yang tersedia untuk umum), tim menggabungkan semua data ini dan memperkirakan peningkatan angka kematian per 1ug / m3 dari PM2.5.

Tim peneliti juga memperhitungkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil, seperti usia, pendidikan, kemiskinan dan aktivitas merokok. Peneliti tidak langsung menjelaskan faktor-faktor lain seperti akses perawatan kesehatan dan pola mmaka. Penelitian ini didanai oleh Badan Perlindungan Lingkungan dan Wellcome Trust. Santi Sopia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement