Rabu 17 Jul 2019 15:16 WIB

Dokter Sebut Perundungan Buat Anak Ingin Lakukan Filler

Dokter menolak anak yang ingin filler dan merujuknya ke psikolog untuk ubah mindset

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Christiyaningsih
Wanita sedang melakukan perawatan wajah. Ilustrasi.
Foto: Withlovefay.com
Wanita sedang melakukan perawatan wajah. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren perawatan estetika seperti filler tampaknya tak hanya dicari oleh pasien dewasa tetapi juga pasien anak. Hal ini terlihat dari semakin bertambahnya pasien anak yang mendatangi klinik estetika untuk mendapatkan perawatan.

"Setiap pekan pasti ada pasien anak. Jumlahnya bertambah. Makanya ini suatu fenomena," ungkap spesialis kulit dan kelamin, Dikky Prawiratama, dalam peluncuran produk Facille Dermal Filler dari Kalbe Farma di Jakarta.

Baca Juga

Dikky memperkirakan sekitar empat sampai lima persen dari total pasien yang ia tangani merupakan pasien anak. Para pasien anak ini mencari perawatan estetika dengan beragam alasan.

Dikky mengatakan pasien termuda yang pernah mendatanginya masih berusia 12 tahun. Pasien tersebut mendatangi klinik estetika atas dorongan orang tua untuk memancungkan hidung dengan filler. Sebelumnya, pasien anak tersebut sudah mendatangi dokter bedah plastik untuk memancungkan hidung namun ditolak.

Dikky juga mengambil keputusan yang sama untuk menolak permintaan memancungkan hidung anak tersebut dengan filler. Salah satu alasannya, tubuh dan wajah anak secara fisiologis masih belum stabil.

Artinya, struktur wajah anak masih akan terus berubah. "Secara mental, anak juga belum stabil," lanjut Dikky.

Dikky menilai ada beberapa hal yang memicu semakin bertambahnya tren perawatan estetika di kalangan pasien anak. Salah satu faktor pemicu yang paling sering ia temukan adalah karena bullying atau perundungan.

Faktor lain yang juga kerap mendorong pasien anak menjalani perawatan estetika adalah orang tua. Sebagian anak mendapatkan tekanan dari orang tua untuk menjalani perawatan estetika, seperti kasus pasien berumur 12 tahun tersebut.

"Kadang dari anak baik-baik saja. Tapi karena orang lain, dia merasa harus diubah wajahnya. Kalau seperti itu, saya secara personal akan menolak," jelas dokter yang berbasis di Yogyakarta itu.

Jika mendapati pasien anak seperti ini, Dikky mengatakan ia cenderung melakukan pendekatan yang berbeda. Salah satunya dengan merujuk pasien anak tersebut ke psikolog atau psikiater. "Karena yang harusnya dibetulkan sebenarnya mindset, bukan wajahnya," ungkap Dikky.

Di sisi lain, bukan berarti pasien anak tidak boleh mendapatkan perawatan estetika seperti filler. Dalam kasus tertentu, pasien anak boleh mendapatkan perawatan filler wajah dengan tujuan rekonstruksi.

Sebagai contoh, anak tersebut lahir dengan kelainan skleroderma. Kondisi ini dapat membuat kulit mengeras dan wajah tampak cekung karena tidak memiliki sel lemak.

Penampilan seperti ini tak jarang membuat anak merasa tidak percaya diri dan malu. Pada anak seperti ini, pemberian filler dapat membantu untuk memperbaiki kecacatan yang disebabkan skleroderma. "Untuk memperbaiki cacat itu bisa. Tapi kalau cuma mempercantik penampilan, saya menolak anak-anak," pungkas Dikky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement