REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Para peneliti di Australia telah mengembangkan prototipe perangkat lunak yang mempelajari dampak kelelahan pada kinerja atletik. Diterbitkan di jurnal Plos One, studi ini mengukur keletihan metabolisme dan neuromuskuler atlet.
Algoritma perangkat lunak yang dikembangkan oleh para peneliti memungkinkan tingkat energi atlet dihitung dan diprediksi. Peneliti kemudian melihat bagaimana tingkat kelelahan dapat memengaruhi kinerja mereka.
“Katakanlah Anda memiliki permainan besok dan diperkirakan Anda akan sangat lelah. Anda mungkin mengubah strategi pelatih,” kata Paul Wu, peneliti di Universitas Teknologi Australia dan penulis utama studi tersebut dilansir dari Malay Mail akhir pekan lalu.
Kelelahan metabolik hanya membutuhkan beberapa jam pemulihan. Tetapi hal yang sama tidak berlaku untuk kelelahan neuromuskuler yang bisa memakan waktu hingga 48 jam atau lebih untuk pulih.
Dalam pengaturan olahraga profesional, atlet sering berlatih dua kali sehari, lima hari, atau lebih dalam satu pekan. “Jika Anda mengalami kelelahan neuromuskuler dan memiliki pelatihan atau kompetisi pada hari berikutnya, Anda akan tetap lelah dan memiliki risiko cedera yang lebih tinggi,” ujar Wu.
Untuk merancang perangkat lunak, tim Wu meneliti selusin atlet non profesional untuk tes lompatan balasan yang melibatkan berdiri di atas pelat kekuatan, berjongkok, dan melompat setinggi mungkin. Dalam penelitian ini, tim menguji para atlet setelah sesi latihan intensitas rendah, sedang, dan tinggi.
“Kami melakukan banyak lompatan dari waktu ke waktu, dari sesaat sebelum sesi pelatihan, hingga setelahnya, dan kemudian secara berkala hingga 48 jam kemudian,” katanya.
Para ilmuan kemudian menggunakan alat analisis statistik untuk memproses data fisiologis para atlet. Dengan melakukan beberapa tes lompatan hingga 30 menit setelah pelatihan dan analisis, mereka dapat memprediksi tingkat kelelahan neuromuskuler. Wu juga melihatnya sebagai kesempatan bagi atlet untuk membandingkan kinerja mereka dengan yang lain.