REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Remaja merupakan kelompok usia yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri. Menurut ahli kejiwaan Nova Riyanti Yusuf, remaja yang memiliki ide bunuh diri harus ditangani dengan serius.
Nova mengungkapkan, orang tua maupun lingkungan sekitar bisa mendeteksi dini keinginan remaja untuk mengakhiri hidup. Hal tersebut bisa tercermin dari pikiran, perasaan, dan perilaku remaja untuk menyakiti diri sendiri (self harm).
Ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaan remaja, orang terdekat sebetulnya bisa mengenali. Perilaku kesehariannya pasti berubah.
"Kok murung, terus perilakunya berubah. Biasanya dandan jadi nggak suka dandan, misalnya. Biasanya mandi, tapi nggak mandi. Pikirannya optimistis menjadi pesimistis. Kalau depresi, perilaku itu akan bertahan minimal dua minggu," kata Nova yang melakukan penelitian tentang Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta.
Nova mengatakan menyakiti diri sendiri pada remaja bisa berujung kematian. Aplaagi jika bagian tubuh yang disakiti merupakan area pembuluh darah yang berbahaya.
"Banyak sebenarnya kasus, tapi masih ada stigma dan gengsi terhadap percobaan bunuh diri pada remaja. Tinggal kita, serius atau enggak menghadapi ini," ujarnya di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis.
Ada beberapa faktor risiko yang dapat memicu remaja memiliki ide bunuh diri. Pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku mengambil risiko, transmisi genetik yang dapat menimbukan sifat agresif dan impulsif, dan memiliki riwayat gangguan jiwa lain merupakan beberapa di antaranya.
Di samping itu, menurut Nova, ide untuk mengakhiri hidup juga bisa terpantik karena lingkungan sosial yang tidak mendukung. Demikian juga dengan penyalahgunaan akses internet.
Berdasarkan Riskesdas 2013, dari 722.329 sampel dengan umur 15 tahun ke atas tampak bahwa prevalensi keinginan bunuh diri adalah 0,8 persen pada laki-laki dan 0,6 persen pada perempuan. Keinginan bunuh diri cenderung lebih banyak terjadi di daerah perkotaan daripada di desa.
Nova mengingatkan bahwa ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius yang harus segera ditangani. Dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadian bunuh diri pada remaja, salah satunya melalui deteksi dini dengan tujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja.
"Kalau melihat perubahan, jangan segan dan merasa malu ke psikiater," ujar Nova yang spesialis kedokteran jiwa.
Sementara itu, dalam penelitiannya tentang deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta, Nova mengunjungi sekolah yang populer namun bermasalah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan pada sampel 910 pelajar di SMAN dan SMKN dengan akreditasi A di DKI Jakarta.
Melalui penelitian tersebut, Nova menemukan lima persen pelajar mempunyai ide bunuh diri. Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri setelah dilakukan kontrol terhadap umur, sekolah, gender, perndidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orang tua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian pendahuluan yang dilakukan bersama Direktorat P2MKJN Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, ditemukan 19 persen dari 1.014 sampel memiliki ide bunuh diri.