REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia kesehatan Indonesia masih dibayangi berbagai permasalahan besar di era Revolusi Industri 4.0. Hal itu tercermin dari data riset kesehatan 2018 menunjukkan buruknya indikator berbagai penyakit degeneratif, seperti obesitas, hipertensi, penyakit ginjal kronik, dan kencing manis.
"Tidak kurang dari 21, 8 persen proporsi penduduk Indonesia mengalami obesitas, prevalensi kencing manis mencapai dua persen, serta jumlah penderita penyakit ginjal kronik yang mencapai 3.8 per mil pada populasi di atas usia 15 tahun," ungkap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Budi Wiweko, dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Senin.
Akademisi yang akrab disapa Prof Iko tersebut mengatakan angka ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi di negara tetangga atau pun negara maju di dunia. Iko juga menyayangkan kebiasaan merokok yang semakin meningkat dan memiliki kontribusi negatif pada masyarakat.
Di sisi lain, penyakit infeksi tuberkulosis dan demam berdarah masih menjadi momok menakutkan dengan angka kematian yang sangat tinggi. Menurut pemenang pertama Dosen Berprestasi Nasional pada tahun 2015 itu, Indonesia merupakan negara peringkat kedua untuk prevalensi tuberkulosis tertinggi di dunia, setelah India.
Meski demikian, Prof Iko memuji peningkatan angka harapan hidup serta keberhasilan program keluarga berencana yang membawa Indonesia pada bonus demografi di tahun 2030. Namun, Iko yang aktif menjabat sebagai wakil direktur Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI-FKUI) itu mengungkapkan, sekitar 15 persen populasi Indonesia atau sekitar 45 juta penduduk pada tahun 2030 merupakan kelompok usia lanjut.
"Tentunya kondisi itu memerlukan antisipasi yang baik dalam pengelolaannya," kata salah satu Guru Besar Tetap (Profesor) termuda di bidang kedokteran yang dilantik pada usia 46 tahun 10 bulan.
Budi yang juga staf pengajar Departemen Obstetri Ginekologi (Obgin) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) mengatakan, para pengambil kebijakan dan profesional kesehatan negeri ini harus sensitif, untuk mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan cepat sehingga bisa menghasilkan inovasi disrupsi dalam memecahkan berbagai permasalahan besar di atas.