REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kejahatan pornografi melalui teknologi yang kian marak. KPAI meminta orang tua tidak lengah saat anak diberikan akses terhadap teknologi. Perlu pendampingan dari orang tua ketika anak sudah terbiasa dengan gawai.
Laporan kekerasan seksual juga disebut naik turun, tetapi masih menjadi permasalahan yang perlu perhatian. Angkanya sampai 2018 berjumlah 4.885 dan pornografi cyber crime meningkat sangat tajam.
"Kenapa pedofil makin marak, banyak orang tua lengah, padahal tidak tahu anak sedang berbicara dengan orang jahat di ponsel, diminta foto telanjang dan sebagainya," kata Sitti Hikmawatty, Komisioner KPAI dalam HUT Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ke-65 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hal itu dianggap sebagai kejahatan yang tidak terbatas tempat dan waktu. Kejahatan dan predator itu, menurut Sitti, tidak hanya dihadapi dalam skala nasional, tetapi juga internasional.
"Kita ingat di Bandung ada anak diminta melakukan adegan dewasa dan dibayar Rp 50 ribu, adegannya direkam video, orang tuanya bilang untuk syuting," kata Siti.
Siti melanjutkan, berdasar analisa yang dilakukan, hulunya adalah dari keluarga. Jika keluarga bermasalah, maka akan ada pemahaman yang salah. Ketika tidak bisa diatasi, hilirnya membuat anak akan berhadapan dengan hukum.
Dia menyatakan anak perlu mendapat hak perlindungan yang sama, baik anak yang terpapar pornografi, kekerasan radikalisme, HIV, terorisme, hingga anak dengan disabilitas.
Selama delapan tahun terakhir, jumlah korban kekerasan seksual lebih banyak pada laki-laki. Ada sebanyak 32.662 kasus pada 2018. Risiko bukan sekadar hamil pada perempuan, tetapi juga banyak anak laki-laki yang menjadi korban.
Sebanyak 30,6 persen korban kekerasan adalah anak usia 13-17 tahun. "Saat meneliti 1.000 anak, 90 persen anak sudah terpapar pornografi," tambahnya.
Strategi yang dilakukan KPAI termasuk penghapusan kekerasan anak yang dilanjutkan dalam program sampai 2020. Upaya yang dilakukan antara lain, melalui legislasi kebijakan, norma sosial, oengasuhan, keteramlilan hidup dan ketahanan diri anak, layanan korban, pelaku, saksi, penyedia data dan bukti.
Jaminan tumbuh kembang anak juga sudah masuk dalam RPJMN 2015-2019 dan KPAI akan berupaya melanjutkan di tahun-tahun berikutnya.
"Kita cegah terjadinya de-victimisasi, artinya sudah jadi korban masih disalahkan. Masih ingat kisah Audrey? Ada anak yang tidak di TKP tapi karena menerima ribuan pesan elektronik dan disalahkan akhirnya tidak berani keluar rumah sampai sekarang, artinya tangan Anda telah membunuh orang lain," tuturnya.
IDAI juga turut fokus terhadap hak-hak anak, utamanya dari pelayanan kesehatan. Meita Dhamayanti, anggota IDAI dari Satgas Perlindungan Anak mengatakan perlindungan anak telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Anak harus sudah dilindungi mulai dari dalam kandungan. Fokus IDAI yaitu terhadap anak sebelum usia 18 tahun. "Kami bersinergi dan memperkuat kemitraan dengan stakeholder, termasuk tata laksana di puskesmas dan rumah sakit untuk anak korban kekerasan," ujar dia.