Ahad 30 Jun 2019 06:10 WIB

Mengapung di Laut Mati

Mengapung di Laut Mati, wisatawan tidak khawatir tenggelam.

Rep: Ilham Tirta/ Red: Yudha Manggala P Putra
Suasana pantai Laut Mati, Yordania, Selasa (26/3).
Foto: Ilham Tirta
Suasana pantai Laut Mati, Yordania, Selasa (26/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilham Tirta, Redaktur Republika

Usai pembukaan acara Pelatihan Tender dan Management Pemerintahan untuk pegawai Pemerintahan Palestina oleh Kementerian Luar Negeri RI, rombongan kami meninggalkan Le Royal Hotel di pusat Kota Amman. Mobil KBRI yang kami tumpangi bergerak ke Barat. Kami bergerak menuju destinasi yang dikenal seantero dunia: Laut Mati.

Destinasi Laut Mati sangat populer di telinga wisatawan, setelah Petra. Sebuah danau seluas 605 kilometer persegi yang tercipta akibat erosi Sungai Yordania di zaman purba itu memiliki kandungan garam paling tinggi di muka bumi. Dengan keasinan enam kali air laut dan kadar mineral yang padat di dasarnya, tidak ada spesies yang mampu hidup di Laut Mati.

Ada mitos yang dipercayai luas di dunia bahwa berendam di Laut Mati bisa menyehatkan dan mempercantik kulit. Bahkan, semua penyakit kulit akan rontok setelah beberapa lama mengapung di permukaan laut itu. Selain itu, lumpur hitam Laut Mati dipercayai bisa membuat kulit awet muda dan bersih dari penyakit.

photo
Seorang wisatawan berdiri di lokasi land mark Laut Mati, Yordania, Selasa (26/3).

Jarum jam menunjukkan pukul 12.45 waktu setempat. Matahari bersinar cerah. Tapi, suhu 10 derajat Celsius itu tetap membuat tubuh warga Indonesia seperti kami menggigil. Beruntung, mobil KBRI yang saya tumpangi dilengkapi teknologi penghangat udara.

Salah satu staf KBRI Amman, Muhammad Baihaki, menginformasikan bahwa suhu di Laut Mati berbeda dengan di Amman. Di sana, suhunya bertambah sekitar 11 derajat Celsius, cukup pas dengan kondisi tubuh warga Indonesia yang biasa dengan suhu di atas 20-an derajat Celsius. "Di sana cukup panas karena dipengaruhi oleh datarannya yang rendah," kata dia.

Banyak literatur menyatakan dasar terdalam Laut Mati adalah titik terendah di muka bumi, yaitu 1.300 km, sekitar 400 meter di bawah permukaan air laut. Karena itu, ketika sampai di land mark Laut Mati, sekitar tiga kilometer dari tepian laut, rombongan kami terhitung mulai menyelam. Titik itu adalah tinggi rata-rata per mukaan laut di dunia.

"Kita sebenarnya sedang menyelam, tapi di daratan kering," katanya mengibarat kan. Dia juga mengingatkan agar kami tidak kaget jika nantinya telinga terasa sakit. Di bagian ini, wisatawan yang pernah berada di air terjun yang dalam pas ti tahu rasanya. Telinga terasa sakit dan pendengaran seperti terhalang. Karena itu, harus mengunyah," kata dia.

Melewati land mark, mata disuguhkan dengan perbukitan di kanan kiri. Penampakannya seperti tanah merah membujur ke atas dan ditaburi jutaan bebatuan hitam dengan rerata ukuran dua kali kepala manusia.

Menurut riwayatnya, sepanjang wilayah antara Yordania dan Palestina bagian barat itu terkubur kaum Sodom yang terkutuk. Allah membalikkan tanah itu dan menjatuhkan hujan batu kelam hingga kaum itu tak tersisa. Kisah ini tertuang dalam Alquran:

"Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi." (Surat Huud [11]: ayat 82)

Saat ini, jejak Kota Sodom itu masih ditelusuri. Penelitian arkeologis mendapati, Kota Sodom terletak di tepi Laut Mati yang dahulunya disebut Danau Luth, tepatnya di sekitar daratan perbatasan Palestina dan Yordania. Ada proyek pembongkaran sebuah bukit di sana. "Diduga, di dalamnya banyak kerangka manusia," jelas Baihaki.

Sekitar satu kilometer, wangi khas laut mulai tercium. Dari sisi kanan jalan, daratan Yordania dan Palestina masih terlihat menyatu. Tapi, bangunan yang menandai wilayah wisata juga mulai terlihat.

Sejumlah resor mewah, hotel, dan pusat perbelanjaan berdiri di sana. Beberapa masih dalam tahap pembangunan. "Di sini adalah wilayah komersial, Pemerintah Yordania memang mengandalkan pemasukan dari segi wisata," kata Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Indonesia, Sunarko yang ikut dalam rombongan.

Pukul 13.50 waktu setempat, kami sampai di tempat pembelian tiket. Bagi wisatawan yang memiliki identitas Yordan, mereka cukup membayar 1 dinar Yordania (JD) atau sekitar Rp 19.976. Pendatang seperti kami harus merogoh kocek lebih besar, yaitu 10 JD.

photo
Pemandangan dari kolam renang di tempat wisata Laut Mati, Yordania.

Melewati gerbang masuk, kami langsung berhadapan dengan sebuah kolam renang yang bersih. Di sisi-sisinya terdapat ruang ganti dan pemandian. Tidak tampak gersang. Rumput, pohon palem, dan zaitun terlihat asri. Tepian Laut Mati berada sekitar 500 meter yang menjorok ke bawah.

Dari atas kami bisa melihat dengan jelas para wisatawan yang mengapung di tepian dangkal. Kebanyakan mereka adalah wisatawan kulit putih dengan rambut pirang. Hari itu, pengunjung Laut Mati terbilang ramai.

Sementara, di seberang sana, pegunungan wilayah Palestina masih jelas terlihat. Air biru yang berhadapan langsung dengan tebing berwarna merah keemasan dan bukit-bukit tandus menjadi pemandangan yang memanjakan mata.

Dipenuhi garam halus kami langsung mendekat ke tepian. Di sana, terdapat papan pengumuman terkait hal-hal yang membahayakan ketika masuk Laut Mati. Salah satunya, wisatawan tidak diperkenankan menyelam atau harus melindungi bagian di atas leher dari air asin.

Di sepanjang tepian, banyak bule yang mencari batu. Kebanyakan mereka hanya memilih, mengamati, dan membuangnya kembali. Tidak mudah untuk menemukan batu berharga atau lumpur berwarna ungu yang menyehatkan kulit.

Pantai itu tidak berpasir, tapi dipenuhi garam halus. Kita akan biasa menginjak benda padat mudah patah yang merupakan bekuan garam. Garam itu juga bisa diambil, tapi sifat halusnya karena kurang disinari matahari membuatnya tidak bertahan lama.

Garam itu dengan mudah melepuh di tangan dan mencair. Garam dan air Laut Mati terasa asin pekat yang tak tertahankan di lidah. Di sana juga ada penjaga pantai dengan peluit di tangannya. Menurut dia, tidak ada yang boleh melewati sekitar 15 meter dari garis pantai.

photo
Suasana pantai Laut Mati, Yordania, Selasa (26/3)

Peluitnya akan berbunyi nyaring jika ada yang melewati jarak tersebut. Sementara, dua helikopter berwarna orange berlalu-lalang sepanjang garis pantai. Semuanya aman dan sangat teratur. Di dalam Laut Mati, wisatawan tidak khawatir tenggelam.

Sebab, ketika kita melepas diri, tubuh akan terangkat ke permukaan. Kaki, tangan, dan tubuh akan mengapung dengan sendirinya, seperti sebuah ban berisi angin. Keajaiban itu tidak mengagetkan. Sebab, di sana gravitasi Bumi sangat lemah.

Kemudian, berat jenis manusia hampir seimbang dengan berat jenis air Laut Mati yang padat mineral. Mengapung di Laut Mati memang menjadi salah satu tujuan setiap wisatawan yang ke sana.

Salah satu yang biasa terlihat adalah mengapung sambil membaca, entah itu koran atau buku. Wisatawan juga tidak khawatir tak mendapat lumpur di dalam laut. Di tepian, sudah disediakan tong besar berisi lumpur. "Tapi kita tak tahu apakah lumpur itu asli atau tidak," kata Nashrun Efendi Idris, staf KBRI yang lain.

Sekejap, berendam di Laut Mati terasa sama dengan di pantai yang ada di Indonesia. Namun, ketika keluar dari air, tubuh terasa licin seperti belut. Tubuh seperti terlumuri garam halus. Setelah berendam, wisatawan bisa langsung membasuh tubuh di beberapa titik keran air yang disediakan pengelola pantai.

Setelah itu bisa mandi dan ganti baju di tempat khusus di sisi-sisi kolam renang. Pengunjung juga tak perlu khawatir mengantre karena tempat pemandian yang disediakan cukup banyak.

Sama dengan tempat wisata biasanya, di Laut Mati juga terdapat sejumlah lapak penjual cendera mata. Harganya cukup terjangkau, seperti kaca kecil berisi pasir yang dilengkapi gambar dan nama sesuai pesanan.

Kaca itu dihargai 5 JD per unit. Sekitar pukul 15.30 waktu setempat, matahari masih terik di atas pegunungan Palestina. Rombongan kami kemudian meninggalkan Laut Mati. Di sekitar Laut Mati, juga terdapat sejumlah tempat wisata lainnya.

Rombongan kami sempat menuju Gunung Nebo (Mount Nebo), sebuah tebing yang menjulang yang dipercayai sebagai tempat di mana Nabi Musa memandang Tanah Perjanjian. Tempat sejarah Musa tersebut berada di atas ketinggian sekitar 817 meter di atas permukaan laut itu.

Sayangnya, rombongan tidak sempat masuk karena tempat itu ditutup lebih awal. Berada di pantai Laut Mati Yordania adalah sesuatu yang begitu spesial. Sebab, itu adalah satu-satunya pemandangan lain di tengah wilayah perbukitan tanpa ujung, ke sisi mana pun mata memandang.

Lebih dari itu, merasakan semua keunikan yang hanya ada di laut asin seperti mimpi yang terkabul. Sebut saja, mengapung di permukaan air yang ajaib itu. Tetiba, tubuh terasa ringan dan mengapung dengan sendirinya. Kendati, setelahnya ada rasa kurang nyaman lantaran tubuh yang basah terasa licin dan ada jejak garam setelah kering. Tapi, eksotisme mengapung di atas lautan memang tiada tara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement