Selasa 25 Jun 2019 06:24 WIB

Sindrom Yerusalem, Pengalaman Spiritual atau Masalah Psikis?

Psikiater menangani sindrom Yerusalem sebagai delusi mental.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Indira Rezkisari
Suasana Kota Yerusalem.
Foto: Picryl
Suasana Kota Yerusalem.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sebagian wisatawan yang bertandang ke Kota Yerusalem pernah mengalami semacam kondisi psikotik tertentu. Begitu menginjakkan kaki di sana, mereka mulai menganggap diri sebagai tokoh sejarah atau sosok religius.

Bahkan, sejumlah turis menggunakan identitas baru. Mereka percaya bahwa dirinya sedang menjalankan misi dari Tuhan dan akhir dunia akan segera tiba. Para psikiater menjuluki kondisi itu sebagai sindrom Yerusalem.

Baca Juga

Pemerintah setempat mencatat sedikitnya 50 kasus sindrom tersebut setiap tahun. Seringkali, kondisi itu berujung pada keterlibatan polisi atau perawatan di rumah sakit. Berbagai situasi tersebut bisa serupa tetapi tidak sama.

Misalnya, perempuan Kristiani yang menganggap dirinya adalah Maria yang akan melahirkan Yesus. Padahal, dia sama sekali tidak hamil. Kasus lain, ketika seorang koki Jerman mendesak untuk menggunakan dapur hotel untuk menyiapkan "Perjamuan Terakhir".

Istilah sindrom Yerusalem pertama kali digunakan oleh psikiater Heinz Herman pada awal 1900-an untuk menggambarkan beragam kasus itu. Para profesional kesehatan cenderung tidak memandang kejadian tersebut sebagai pencerahan spiritual.

Dua psikiater berpengalaman, Eliezer Witzum dan Moshe Kalian, yang kerap menangani kasus-kasus senada, mengategorikannya sebagai delusi mental. Mereka yakin sindrom Yerusalem bukanlah pengalaman religius.

Para psikiater mendokumentasikan temuan mereka dalam laporan tahun 1999 yang diterbitkan di Israel Journal of Psychiatry and Related Sciences. Penyebab utama pada mayoritas kasus ditengarai bukan karena suasana keagamaan di Yerusalem.

Menariknya, para dokter menyatakan mereka belum menemukan kasus sindrom Yerusalem pada Muslim, tetapi hanya pada penganut Yahudi atau Kristen. Menurut laporan, kasus serupa dalam jumlah kecil dialami beberapa Muslim di Kota Makkah, Arab Saudi.

Sisi kontroversial pada sindrom Yerusalem adalah kasus biasanya terjadi pada orang yang tidak pernah didiagnosis mengidap masalah kejiwaan. Sementara, faktor umum yang menarik adalah sebagian besar pengidapnya berasal dari keluarga yang sangat religius.

"Tetapi apakah kasus-kasus ini murni pengalaman spiritual atau masalah kejiwaan yang mendasarinya, masih harus dipelajari," kata Manny Alvarez, dokter yang menjabat sebagai ketua departemen ginekologi dan ilmu reproduksi di Hackensack University Medical Center di New Jersey, Amerika Serikat, dikutip dari laman Fox News.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement