REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Dari Pelabuhan Bakauheni, setelah turun dari kapal, pengunjung dapat melintasi Jalan Lintas Pantai Timur Sumatra sebelah kanan setelah pelabuhan. Sekira dua jam lebih perjalanan kendaraan atau berjarak sekira 85 km, pengunjung sudah tiba di Desa Wana.
Sedangkan dari Kota Bandar Lampung, ibu kota Provinsi Lampung, Desa Wana dapat ditempuh perjalanan dua jam lebih juga. Itu dalam kondisi jalan beraspal normal tanpa adanya jalan rusak atau berlubang.
Setiba di Lapangan Sribhawono, tempat rekreasi masyarakat setempat dalam segala hal selalu ramai pada siang dan malam, pengunjung akan memasuki gerbang Kawasan Pemukiman Tradisional Desa Wana, sejauh tujuh kilometer dari lapangan tadi.
Saat itu, mata kita hanya disuguhi kiri dan kanan kebun-kebun coklat, jagung, lada, kelapa, dan tanaman buah lainnya. Seakan tak ada yang aneh atau asri dari kampung tersebut.
Sekira 2 km berjalan maju dari gerbang tersebut, barulah tampak pesona indah dan asri jejeran rumah panggung khas budaya Melinting. Salah satu budaya tertua di Provinsi Lampung. Inilah wisata budaya sekaligus wisata sejarah yang sangat berkesan bagi pengunjung tatkala menyusuri jalan-jalan di Desa Wana.
Panorama rumah panggung beraneka ragam corak dan warna terlihat di kampung Melinting tersebut. Suasana akan menjadi teduh dan nyaman, sehingga banyak orang yang ingin berlama-lama di desa itu.
Rumah Panggung Melinting di Desa Wana, kecamatan Melinting, Lampung Timur
Rumah panggung tua
Tiba di persimpangan empat Desa Wana, saking eksotisnya rumah-rumah panggung, menjadi serba salah mau ke mana lebih dulu. Mampir di warung yang menempati ruang di bawah rumah panggung menjadi pilihan pertama.
Penduduk Desa Wana memang terkenal ramah kepada setiap pengunjung ke kampungnya. Kedatangan Republika saat bertemu dengan warga pertama kalinya langsung di sambut dengan ramah dan terbuka. Entah apa ini memang sudah dijuluki desa wisata nasional sejak 1994 atau memang sudah tradisi warga setempat.
Saat Republika minta info soal rumah pangung tua yang sudah ratusan tahun, seorang pemilik warung langsung memberitahu arah rumahnya. Sekira satu kilometer dari rumahnya masih dalam deretan rumah ibu tersebut, terdapat rumah yang sudah ratusan tahun dan disebut bersejarah di Kecamatan Melinting.
Tidak jauh dari sini, ada beberapa rumah yang sudah ratusan tahun. Di sana, dalam rumahnya, juga banyak benda-benda bersejarah, katanya. Mata pengunjung dimanjakan dengan deretan rumah-rumah panggung kayu khas milik warga setempat. Usia rumah panggung tersebut sudah ratusan tahun.
Meski sudah seabad lebih, kayu-kayunya pun tak kusam dan tak lapuk ditelan zaman. Memang, material kayu kualitas nomor satu diambil dari hutan kampungnya sendiri. Saat ini, rumah-rumah panggung dari kayu pilihan tersebut masih kokoh dan tegar.
Walau usia rumah sudah hitungan abad, seakan masih ramah menyambut pengunjung dari luar ketika bertamu di Desa Wana. Rumah-rumah panggung yang ada masih didiami ahli warisnya. Nyaris tak ada rumah panggung yang kosong melompong setelah pemilik awalnya meninggal dunia.
Rumah Panggung Melinting di Desa Wana, kecamatan Melinting, Lampung Timur.
Keluarga secara turun temurun menempati rumah tersebut sehari-hari. Tak ada per ubahan mencolok sejak rumah pang gung tersebut berdiri hingga sekarang.
"Sekarang kami sekeluarga menempati rumah warisan tua ini," kata Abi (38 tahun) saat ditemui di rumah panggung tua khas Melinting yang dibangun tahun 1929. Rumah panggung yang ditempati Abi bersama istri dan tiga anaknya adalah warisan puyangnya, Abdul Muthalib Gelar Batin Negara. Setelah orang tuanya meninggal, ia yang menjadi anak keenam mendiami rumah warisan buyutnya tersebut.
Dari depan, dalam, hingga belakang dan samping kanan dan kirinya, tak ada perubahan apa pun dari rumah warisan tersebut. Rumah panggung di Desa Wana rata-rata sudah berusia tua.
Rumah yang ditempati Abi disebut warga setempat sebagai rumah panggung tertua. Hal tersebut ditandai adanya ukiran di atas pintu atasnya tahun pembuatan 1929. Selain itu, terdapat di atas pintu masuk rumah tulisan dalam Arab melayu yang menyebutkan tahun dan pemilik rumah tersebut.
Bersama Abi, kami menelusuri satu per satu ruangan dalam rumah panggung. Penataan ruang tamu dengan kursi dan bufet serta isinya masih tersimpan rapi. Barang-barang perabotan rumah tangga di ruang tamu, kamar, ruang keluarga, dan juga isi dapurnya, tidak ada perubahan yang mencolok. "Semua kami biarkan apa adanya. Perabotan peninggalan buyut kami tidak diganggu gugat oleh keluarga," kata Abi.
Saksi sejarah bisu di dalam rumah panggung tua tersebut dapat dilihat dari adanya ranjang besi berkelambu, mesin jahit manual merek Singer masih bisa disaksikan. Peralatan perak dan kuningan terpajang di ruang tamu. Menariknya di dapur belakang rumah panggung itu, masih asli dari dulu sampai sekarang.
Meja dan lemari makan masih khas buatan zaman dulu. Tempat masak (pedapuran) menggunakan tungku dan kayu bakar serta peralatan masaknya masih dibiarkan asli berada di tempatnya. Abi mencontohkan memasak air menggunakan tungku terbuat tanah liat. Ia membakar kayu yang ada, dan meniupkan api mengunakan bambu.
Setelah api menyala ia menempatkan panci air di atas tungku. Kepulan asap menghitam menyelimuti dapurnya. "Beginilah dulu memasak, semua berasap dan dapur menjadi hitam pekat. Tapi, kami tidak menggunakannya lagi, pakai kompor gas, karena kayu susah dicari," tuturnya.
Di bawah rumahnya terdapat gudang penyimpanan padi. Turun menggunakan tangga kayu, yang sekarang masih bisa digunakan. "Kalau menyimpan padi setelah panen, buyut kami membuat gudang di bawah rumah. Semua rumah panggung ada gudang padinya di bawah rumah," ujarnya.