REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren proporsi kebiasaan merokok di seluruh provinsi Indonesia mengalami staganansi berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013 dan 2018. Meskipun demikian, tren prevalensi perokok muda usia 10 tahun hingga 18 tahun mengalami peningkatan jika dibandingkan dari 2013 dan 2018.
“Yang jadi masalah adalah pada remaja usia 10 tahun hingga 18 tahun terjadi kenaikan. Padahal kita menginginkan national target itu 5,4 persen, tapi ini malah naik,” ungkap Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan Siswanto saat ditemui pada Selasa (18/6).
Dari data yang dia sajikan dalam presentasi Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2019, persentase prevalensi perokok muda mengalami peningkatan. Pada data Riskerdas 2013, angka prevalensi perokok muda mencapai 7,2 persen.
Sementara, pada data Sirkesnas 2016 persentase itu meningkat menjadi 8,8 persen. Persentase itu semakin jauh dari target pemerintah Indonesia untuk menurunkannya pada angka 5,4 persen. Pada data Riskerdas 2018, persentase meningkat menjadi 9,1 persen.
Data itu juga didukung oleh Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang juga didukung oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 2014 lalu. Data itu menyebut konsumsi rokok dan tembakau pada remaja mengalami peningkatan.
“Menariknya di sini adalah lagi-lagi pada perempuan ada sedikit peningkatan. Lalu pada proporsinya sebenarnya memang pada laki-laki itu memang masih banyak. Tapi, pada perempuan mengalami peningkatan,” tutur dia.
Secara khusus dia menyoroti perihal konsumen rokok perempuan. Pada tren penyakit yang menjadi faktor risiko pada 1990 dan 2017, penyakit karena tembakau mengalami perbedaan pada laki-laki dan perempuan.
Pada 2017, tren penyakit yang disebabkan oleh tembakau menduduki peringkat ketiga pada jenis kelamin laki-laki. Sementara pada perempuan meningkat menjadi peringkat keenam.
“Masalah pada wanita lebih cepat ekskalasinya dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun prevelansinya lebih rendah dari pada laki-laki,” ungkap dia.
Artinya, secara tak langsung, perempuan mulai banyak mengalami penyakit yang disebabkan oleh tembakau. Hal itu bisa berarti perempuan telah banyak yang mulai menjadi perokok baik aktif maupun pasif.
Siswanto pun mengamati dan menduga atas fenomena demikian. Menurutnya, laki-laki merokok disebabkan karena kemiskinan. Artinya, karena tak ada kegiatan mereka merokok.
“Tapi kalau perempuan kayanya kok enggak, lebih kepada lifestyle. Artinya gaya hidup dan kebanyakan perokok perempuan itu yang kelas menengah ke atas,” ungkap dia.
Upaya dari Kementerian Kesehatan lebih menekankan pada kampanye dan edukasi. Dua program kampanye yang digaungkan adalah Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan Program Indonesia dengan pendekatan keluarga.
Kemenkes turun ke keluarga-keluarga Indonesia untuk melakukan kampanye. Salah satu indikator program itu adalah setiap anggota keluarga tidak boleh merokok.
Hal ini dibenarkan oleh dokter pulmonologi Sita Andarini. Dokter dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menyebut banyaknya perempuan yang mengkonsumsi rokok dikarenakan pasangannya juga ikut merokok.
"Kebanyakan dari mereka adalah istri yang memiliki suami perokok sehingga mereka menjadi perokok pasif," tutur dia.