Senin 24 Jun 2019 01:11 WIB

Mengenal Cak Nun, Sosok Budayawan yang Berdakwah Lewat Cara yang Berbeda

Emha Ainun Najib alias Cak Nun merupakan seorang budayawan ternama di Indonesia

Rep: cermati/ Red:
Mengenal Cak Nun, Sosok Budayawan yang Berdakwah Lewat Cara yang Berbeda
Mengenal Cak Nun, Sosok Budayawan yang Berdakwah Lewat Cara yang Berbeda

Muhammad Ainun Najib atau yang lebih akrab Emha Ainun Najib alias Cak Nun merupakan seorang budayawan ternama di Indonesia. Lewat karya-karyanya, Cak Nun mencoba menyampaikan kegundahan hatinya terkait masalah-masalah sosial dan keagamaan yang ada di sekitarnya.

Sempat mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, Cak Nun kini lebih banyak menghabiskan waktu menjadi narasumber pengajian di berbagai wilayah Indonesia. Selain berdakwah lewat syair, lewat cara ini, ayah lima anak ini melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.

Lalu seperti apa kiprah Cak Nun? Simak ulasannya berikut ini yang telah dirangkum Cermati.com dari berbagai sumber.

 

cak nun

Cak Nun via beritamandiri.co

Pernah Menggelandang di Malioboro Semasa Muda

Cak Nun terlahir di Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953. Masa kecilnya pun banyak dihabiskan di tempat kelahirannya tersebut. Sejak kecil Cak Nun terkenal dengan seorang anak yangmemiliki pemikiran yang kritis. Akibatnya,Cak Nun harus rela dua kali diusir dari tempatnya mengenyam pendidikan formal. Termasuk di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo tempat sang kakak menempuh pendidikan.

Hal ini membuat dirinya tidak lagi ingin meneruskan sekolahnya. Tetapi tentu saja keinginan itu tidak pernah diamini oleh kedua orang tuanya. Sang kakak yang akrab disapa Cak Fuad akhirnya berhasil lulus dan melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Cak Nun pun turut dipindahkan mengikuti sang kakak untuk melanjutkan pendidikan.

Meneruskan masa SMP dan SMA di Yogyakarta, Cak Nun banyak mendapatkan pelajaran hidup. Di kota pelajar itu sifat dan karakter Cak Nun ditempa. Menulis pun menjadi cara bagi Cak Nun muda untuk bertahan hidup jauh dari orang tua. Tidak hanya cerpen, artikel dan esai dalam majalah stensilan saja yang ditulis, tetapi juga beragam puisi yang selalu menyita waktu dan membuatnya membolos sekolah.

Setelah menamatkan pendidikan di bangku SMA, kemudian Cak Nun diterima melanjutkan kuliahnya di UGM. Kala itu dirinya pun mengambil Fakultas Ekonomi. Namun rupanya keinginan suami Novia Kolopaking ini untuk menempuh pendidikan formal memang sudah semakin menipis.

Setelah satu semester menjadi mahasiswa, dia pun memilih untuk hengkang dan “menimba ilmu” di Malioboro. Penyair Umbu Landu Paranggi menjadi gurunya di Persada Studi Klub (PSK). Semenjak 1970 hingga lima tahun berikutnya pun dihabiskan Cak Nun dengan menggelandang di Malioboro.

Kemampuan Cak Nun dalam menulis semakin berkembang. Masa itu juga sangat berpengaruh terhadap berkembangnya intelektual, sosial, spiritual dan kultural seorang Cak Nun. Tulisannya yang dimuat di koran nasional dan lokal pun mulai mendapat perhatian.

Tidak cukup hanya menjadi bagian dari koran, antologi bertajuk “M” Frustasi pun dikeluarkan pada 1975. Karya-karyanya itu kemudian dipentaskan dalam bentuk pembacaan puisi oleh Teater Dinasti yang dibentuk bersama kawan-kawan Cak Nun.

Kreativitasnya pun semakin berkembang pada 1970-an akhir. Naskah drama mulai dibuat disamping puisi dan esai yang juga terus diproduksinya. Beberapa hasil naskahnya kemudian dimainkan Teater Dinasti di atas panggung. Diantaranya Mas Dhukun, Keajaiban Lik Par, dan Geger Wong Ngoyak Macan.

Dalam setiap karyanya, penulis buku Kiai Hologram itu tidak memiliki aturan dan patokan. Semua diciptakan dengan penuh kebebasan untuk menunjukkan sebuah karya yang autentik. Dirinya pun menjelma menjadi sosok pembela yang dipuja kaum bawah di era 1980-an sampai 1990-an.

Bentuk Grup Musik dan Forum Kajian

Seolah tidak cukup dengan menulis dan teater, Cak Nun pun merambah dunia musik. Bersama kelompok musik Gamelan Kiai Kanjeng mereka pun membuat album perdana yang rilis pada 1995. Tombo Ati menjadi andalan di album bertajuk Kado Muhammad tersebut.

Sebuah wadah untuk menampung permintaan dialog dari masyarakat pun dibuat. Diberi nama pengajian Padhang Mbulan, forum ini diadakan setiap bulan di kampung halaman penulis buku Pemimpin yang Tuhan tersebut. Berawal dari agenda keluarga, forum ini kemudian meluas ke masyarakat.

Semakin lama forum itu terus berkembang dan kemudian bertransformasi menjadi Jamaah Maiyah. Forum ini pun dijadikan Cak Nun dan para penggeraknya menjadi tempat untuk berdiskusi mencari solusi masalah sosial.

Pertama kali dilaksanakan di Jakarta, wadah ini pun semakin meluas ke berbagai kota di Indonesia. Sebut saja Tombo Ati di Surakarta, Paraparandang Ate di Sulawesi Selatan, Bangbang Wetan di Surabaya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta dan lain-lain.

Baca Juga: Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Raja Media di Indonesia yang Hartanya Triliunan

Aktif Terlibat Dalam Pergantian Era Reformasi

Meski dikenal sebagai seorang budayawan, rupanya Cak Nun juga memiliki peran dalam pergantian dari era Orde Baru menjadi Reformasi. Dia menjadi satu dari sembilan orang yang datang ke Istana Merdeka untuk mendengarkan pidato pengunduran diri Soeharto.

Diundang bersama sembilan tokoh lain, Cak Nun turut diajak berdiskusi tentang rencana kemunduran Soeharto. Para tokoh yang diundang Soeharto itu pun dengan jelas mendesak agar presiden era Orde Baru itu segera mundur agar keadaan semakin terkendali. Cak Nun juga sempat memberikan masukan agar Soeharto mundur secara elegan sebelum digulingkan lewat kudeta.

Selalu Ditemani Gamelan Kiai Kanjeng

Aktif menjadi narasumber di berbagai acara membuat Cak Nun banyak menghabiskan waktu berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia. Setiap mengisi acara pun, dia tidak pernah sendiri. Ada kelompok musik Gamelan Kiai Kanjeng yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam menyampaikan kajian islami, Cak Nun tak hanya di forum Padhang Bulan saja, tapi juga di berbagai acara lain. Jika dihitung, rata-rata dalam satu bulan bisa sampai lima belas kali dalam sebulan.

Melalui kegiatan tersebut, ayah dari Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang dikenal Noe Letto ini berusaha berupaya melakukan dekonstruksi pemahaman terhadap cara berpikir, metode hubungan kultural, pola komunikasi serta nilai dalam masyarakat. Sholawatan pun menjadi salah satu agenda wajib dalam setiap pertemuan.

Tidak jarang dalam setiap kesempatan mengisi acara, Cak Nun juga mengadakan workshop kecil bagi orang-orang yang turut datang untuk sinau bareng. Dibantu para penabuh gamelan Kiai Kanjeng, mereka yang diajak naik ke panggung pun diajak untuk melestarikan budaya lewat lagu maupun permainan tradisional. Cara itu pun sering disebut sebagai dakwah kultural.

Baca Juga: Keren, Ini 7 Anak Muda Indonesia Berprestasi dan Bisa Jadi Inspirasi Kamu

Dapat Penghargaan di Era Susilo Bambang Yudhoyono

Berkiprah menjadi seorang budayawan selama puluhan tahun membuat Cak Nun menghasilkan puluhan karya. Mulai dari puisi, esai hingga buku telah diterbitkan. Tidak sedikit karya-karyanya itu yang populer. Misalnya buku puisi Lautan Jilbab, puisi Cahaya Maha Cahaya, Sudrun Gugat, dan lain-lain.

Berkat sepak terjang Cak Nun itu pun berbuah penghargaan Satyalencana. Penghargaan itu didapat pada bulan Maret 2011 tepatnya pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan ini sendiri diberikan kepada sosok yang dinilai berjasa besar dalam kebudayaan serta dapat melestarikan kebudayaan daerah maupun nasional dimana hasil buah pemikirannya memiliki manfaat.

Selama masa muda pun Cak Nun pernah ikut dalam lokakarya teater di berbagai negara. Diantaranya Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda, International Writing Program di Universitas Iowa Amerika Serikat dan teater di Filipina.

Setia dalam Berkarya Setiap Saat

Kisah seorang Cak Nun sangat bisa menginspirasi banyak orang terutama kalangan milenial. Kecintaannya pada budaya membuatnya tidak pernah sedikitpun berpaling dari dunia yang melambungkan namanya tersebut. Bahkan hingga di usianya yang sudah tua ini, dirinya masih setia untuk tetap melestarikan budaya negeri dalam setiap kesempatan. Kini, saatnya generasi muda, meneruskan apa yang sudah dimulai oleh Cak Nun, yaitu terus belajar dan melestarikan budaya Indonesia.

Baca Juga: Filosofi Hidup BJ Habibie Menjadi Inspirasi Sukses buat Millenial

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Cermati.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Cermati.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement