Rabu 22 May 2019 16:26 WIB

Lava Pijar Merapi Direstui Jadi Objek Wisata

Butuh banyak koordinasi lintas sektor agar pijar Merapi bisa jadi objek wisata.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Gunung Merapi. Aktivitas Gunung Merapi terlihat dari kawasan Deles Indah, Sidorejo, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Senin (11/3/2019).
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Gunung Merapi. Aktivitas Gunung Merapi terlihat dari kawasan Deles Indah, Sidorejo, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Senin (11/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guguran lava pijar Gunung Merapi merupakan pertanda meningkatkan kewaspadaan akan bencana alam. Muncul wacana menjadikan momen guguran lava sebagai wisata masyarakat lereng. Tapi, selama ini wacana itu masih mengundang pro dan kontra.

Namun, ada perbincangan menarik yang terjadi antara Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman dan Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), kemarin (21/5). Yaitu, saat guguran lava pijar dibicarakan dari sisi potensi wisatanya. Selama ini yang menikmatinya sebagai wisata pemandangan cuma masyarakat sekitar lereng.

Baca Juga

Wisata guguran lava dilakukan dengan kewaspadaan tinggi dan tentu harap-harap cemas agar guguran itu tidak terjadi dengan jarak luncur yang terlalu jauh. Artinya, bahkan masih belum dianggap sebagai wisata.

Tapi, Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, ternyata memberi sinyal yang cukup positif ihwal wacana tersebut. Ia menilai, guguran lava pijar memang objek yang sangat menarik untuk dijadikan wisata.

"Untuk wisata malah sesuatu yang menarik karena aliran lava pijar bisa dikembangkan jadi objek wisata," kata Hanik di Kantor BPPTKG, Selasa (21/5).

Walau menekankan betul soal kewaspadaan, pernyataan itu seperti menjadi angin segar bagi pengelola wisata di sekitaran lereng Gunung Merapi. Sebab, selama ini mereka masih terbilang hati-hati soal itu.

Hanik menekankan, selama ini BPPTKG dan BPBD rutin lakukan sosialisasi kepada masyarakat. Termasuk, dalam rangka memberikan informasi-informasi terkini seputar Gunung Merapi.

Selain itu, mereka merasa sudah memberikan pelatihan-pelatihan wajib lapangan kepada masyarakat. Utamanya, terkait mitigasi, kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana.

Hanik menekankan, pelatihan itu benar-benar membuat masyarakat mengikuti aktivitas lapangan. Artinya, pembelajaran memang diberi secara langsung dan tidak sekadar teori.

Melalui pelatihan-pelatihan dan sosialisasi-sosialisasi serupa, Hanik berharap masyarakat memiliki pemahaman dan tangguh hadapi bencana. Khususnya, ketika erupsi Gunung Merapi terjadi.

"Untuk pelaku wisata bisa kita ajak dialog, saat membawa wisatawan seperti apa, kalau terjadi sesuatu untuk mencegah kepanikan seperti apa, sebab wisatawan itu mereka yang berasal dari luar," ujar Hanik.

Sehingga, mereka kadang tidak terbiasa menghadapi aktivitas yang dikeluarkan Gunung Merapi. Tapi, jika para pelaku pariwisata yang ada memiliki kemampuan mumpuni, ia merasa kepanikan bisa dicegah.

"Kuncinya para pelaku pariwisata," kata Hanik.

Mendengar itu, Kepala Dinas Kabupaten Sleman, Sudarningsih, tampak cukup lega. Terlebih, selama ini mereka jadi instansi yang paling disalahkan jika ada wisatawan yang jadi korban luka/jiwa.

Menengok ke belakang, Ning masih ingat pada 2006 lalu sempat dibuat lomba fotografi. Tapi, tiba-tiba gempa besar terjadi dan pihaknya mendapat banyak keluhan terkait itu.

"Wisatawan memang ingin (melihat lava pijar) tapi tetap harus ikuti arahan BPPTKG," ujar Ning. Untuk itu, selama ini para pengemudi-pengemudi yang ada di Lava Tour, salah satu wisata di lereng Gunung Merapi, terus dilakukan pembinaan. Mulai dari kendaraan-kendaraan, sampai ke pengemudi.

Sejauh ini, ada 29 operator jip Lava Tour yang terus dibina. Salah satunya mendorong semua pengemudi mengunduh aplikasi jarak dengan puncak Gunung Merapi yang sudah dibuat BPBD.

"Cuma, sinyal di sana kadang susah, tapi ke depan kita akan dorong Kominfo untuk menambah kemampuan sinyal di sana, jadi begitu ada peringatan, tersambung, semua harus evakuasi," kata Ning.

Ada beberapa hal yang dirasa bisa meminimalisir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan jika erupsi Gunung Merapi terjadi. Tapi, ia merasa itu tidak cukup.

Bagi Ning, penginapan-penginapan yang ada di sekitaran lereng Gunung Merapi harus terkoordinasi. Sedangkan, selama ini untuk koordinasi dengan pelaku-pelaku usaha penginapan cukup sulit.

Meski begitu, ia mengaku akan terus menjalin koordinasi, termasuk melalui Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sebagai wadah mereka. Tidak menutup kemungkinan, koordinasi soal izin.

"Sebab, soal izin wisata-wisata itu tidak semata dari Dinas Pariwisata, perlu rekomendasi Polres, BPBD dan lain-lain," ujar Ning.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement