REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang tua sekarang yang khawatir video gim akan mendatangkan efek negatif pada anaknya. Sebaliknya, peneliti dari Stanford University di California telah menemukan paparan yang luas terhadap permainan video, seperti Pokemon, selama masa kanak-kanak justru mengaktifkan daerah-daerah tertentu di otak.
Pokemon adalah waralaba yang berasal dari tahun 1995. Permainan ini melibatkan makhluk fiksi yang disebut "Pokemon" dan pemain harus menangkap serta melatih makhluk-makhluk ini untuk saling bertarung.
Pertempuran adalah tema utama gim Pokemon. Pemain harus mencapai tujuan tertentu dalam gim tersebut.
Di tahun 90-an, anak-anak sejak berumur lima tahun sudah bermain Pokemon. Banyak dari mereka terus memainkan versi terbaru dari permainan tersebut.
Hal menarik dari Pokemon membuat anak-anak terus berkenalan dengan satu atau lebih karakter dan pemain mendapatkan hadiah ketika memenangkan pertempuran. Mereka pun bisa menambahkan karakter baru ke ensiklopedia dalam gim.
Para psikolog di Universitas Stanford menemukan rangsangan visual yang berulang selama masa kanak-kanak, dikombinasikan dengan jumlah jam yang dihabiskan di depan layar, mengaktifkan daerah-daerah tertentu di otak. Hasil dari studi itu dapat membantu menjelaskan beberapa dari banyak pertanyaan yang tersisa tentang sistem visual manusia.
"Sudah menjadi pertanyaan terbuka di lapangan mengapa kita memiliki daerah otak yang merespons kata-kata dan wajah tetapi tidak untuk, katakanlah, mobil. Ini juga menjadi misteri mengapa temuan itu muncul di tempat yang sama di otak semua orang," kata penulis studi dan mantan mahasiswa pascasarjana Universitas Stanford Jesse Gomez, dikutip dari Medical News Today, Senin(13/5).
Penelitian terbaru pada monyet yang dilakukan ilmuwan dari Harvard Medical School di Boston menunjukkan daerah yang didedikasikan untuk kategori objek baru cenderung berkembang di otak selama masa kanak-kanak. Gomez tertarik untuk menguji temuan ini pada manusia, jadi dia memutuskan untuk fokus pada paparan video gim. Dia ingat ketika masih kecil menghabiskan banyak waktu bermain video gim, terutama Pokémon Red dan Blue.
Berdasarkan penelitian sebelumnya serta pengalamannya sendiri dengan video gim, Gomez berteori kalau paparan pada usia muda memainkan peran penting dalam pengembangan wilayah otak. Otak orang dewasa yang bermain Pokémon dari anak-anak merespons lebih kuat terhadap karakter dalam Pokemon daripada jenis rangsangan lainnya.
"Apa yang unik tentang Pokemon adalah ada ratusan karakter, dan Anda harus tahu segalanya tentang mereka agar dapat memainkan permainan dengan sukses. Permainan ini memberi Anda imbalan untuk individuasi ratusan karakter kecil yang mirip ini," ujar Gomez.
Gomez menyadari memiliki semua bahan untuk menguji teori pada manusia. Pokemon tidak hanya mengekspos anak-anak ke karakter yang sama berulang kali, namun, memberikan hadiah kepada setelah pertempuran. Selain itu, sebagian besar anak-anak memainkan gim pada layar kecil yang sama.
Faktor-faktor ini membuat pengalaman Pokémon menjadi cara yang menarik untuk menguji apa yang disebut bias eksentrisitas. Bias eksentrisitas menyatakan di otak, lokasi dan ukuran wilayah kategori khusus bergantung pada dua faktor utama: seberapa banyak bidang visual manusia mengambil objek dan apakah gambar terjadi dalam penglihatan pusat atau periferal manusia.
Layar mungil yang digunakan orang untuk bermain gim Pokémon berarti membuat mereka hanya akan mengambil sebagian kecil dari bidang pandang. Mengikuti teori bias eksentrisitas, aktivasi otak preferensial untuk Pokémon harus ada di bagian tengah korteks visual, area otak yang memproses apa yang dilihat.
Untuk menguji tersebut peneliti merekrut 11 orang dewasa yang telah bermain Pokémon secara ekstensif ketika mereka masih muda. Gomez sendiri juga mengambil bagian dalam percobaan. Semua peserta menjalani pemindaian MRI.
Penelitian yang telah terbit di jurnal Nature Human Behavior ini menunjukkan ratusan karakter Pokémon. Seperti yang diharapkan, otak orang-orang yang bermain Pokémon dari anak-anak lebih banyak merespons gambar daripada mereka yang tidak memainkan permainan sejak anak-anak.
"Saya awalnya menggunakan karakter Pokémon dari permainan Game Boy di studi utama, namun kemudian saya juga menggunakan karakter dari kartun dalam beberapa mata pelajaran. Meskipun karakter kartun kurang pixelated, mereka masih mengaktifkan di wilayah otak," kata Gomez.
Para peserta yang terlibat masih belum jelas untuk tempat aktivasi otak dalam mengenali Pokémon. Penelitian ini melihat bagian aktif terletak di belakang telinga yang disebut sulkus occipitotemporal. Tampaknya wilayah ini biasanya merespons gambar binatang dan karakter Pokémon adalah seperti binatang.
"Saya pikir salah satu pelajaran dari penelitian kami adalah wilayah otak yang diaktifkan oleh visi utama kami sangat mudah dipengaruhi oleh pengalaman yang luas," kata ahli dari Sekolah Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Universitas Stanford Prof. Kalanit Grill-Spector.
Profesor Grill-Spector menambahkan otak adalah ahli improvisasi ulung. Itu dapat membuat aktivasi baru yang didedikasikan untuk karakter Pokémon, namun, mengikuti aturan tertentu dalam proses yang mengacu pada tempat aktivasi ini berlangsung.
Bagi orang tua yang mungkin memandang penelitian ini sebagai bukti video gim meninggalkan tanda abadi di otak, Profesor Grill-Spector menyarankan untuk mempertimbangkan bahwa otak mampu mengandung banyak pola yang berbeda. Efek tersebut bukan hanya terjadi pada karakter video gim.