REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Upaya menemukan penderita Tuberkulosis (TB) baru di Kabupaten Semarang terus didorong oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat melalui para kader pendeteksi penyakit TB. Hasilnya sebanyak 1.219 kasus TB telah ditemukan di daerah ini.
Kendati begitu, temuan kasus TB ini ditengarai masih berada di bawah angka riil jumlah penderita di Kabupaten Semarang. Ini karena masih adanya sejumlah kendala yang dihadapi para kader kader pendeteksi penyakit TB di lapangan.
Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Semarang Hesty Wulandari mengungkapkan seharusnya temuan penderita TB bisa lebih dari jumlah tersebut. Sebab Dinkes Kabupaten Semarang memperkirakan masih ada sekitar 1.418 kasus TB.
Kendalanya ada pada keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang harus memonitoring 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Semarang. “Kendati sudah didukung oleh Sub Sub Recipient (SSR) Aisyiyah, kita memang masih kekurangan SDM untuk melaksanakan monitoring, apalagi Kabupaten Semarang wilayahnya cukup luas,” jelasnya di Ungaran Kabupaten Semarang, Senin (13/5).
Hesty juga menyampaikan pada 2019 ini ada alokasi dana dari APBD Kabupaten Semarang untuk menggalang kader pendeteksi baru (non-SSR Aisyiyah). Mereka akan memonitoring di lingkungan masyarakat guna menemukan kasus TB baru.
Kendala lainnya terletak pada proses deteksi awal melalui pengambilan sampel dahak warga suspect TB. Karena itu Dinkes Kabupaten Semarang juga menyiapkan antisipasi melalui tes cepat molekuler (TCM).
TCM merupakan diagnostik kasus TB melalui pemeriksaan sampel dahak yang hasilnya bisa diketahui dengan cepat yang disiapkan di Puskesmas maupun Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas). Sejauh ini Puskesmas yang telah disiapkan untuk melakukan diagnosa TCM adalah Puskesmas Bergas, Kecamatan Bergas serta di Balai Kesehatan Masyarakat Ambarawa, Kecamatan Ambarawa.
“Kalau dari hasil pemeriksaan awal melalui sampel dahak tidak bisa ditemukan, maka akan kita rujuk ke dua lokasi TCM tersebut guna diketahui lebih lanjut,” tandasnya.
Ia juga mengungkapkan memonitor penderita penyakit TB baru merupakan program Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Ini karena Indonesia masih menduduki urutan kesembilan negara dengan kasus TB resisten obat. Di Indonesia masih ditemukannya pasien TB yang putus obat.
Proses pengobatan penyakit TB memang cukup lama, minimal enam bulan dan penderita harus minum obat rutin tanpa putus. “Jika ada pasien TB masuk kategori resisten obat, artinya masih ada kuman di dalam tubuhnya dan berpotensi menularkan penyakit TB kepada orang lain,” tandas Hesty.