Selasa 16 Apr 2019 09:23 WIB

Potensi Kedai Kopi Masih Besar

Mereka yang ingin berbisnis kopi disarankan mencari dulu identitas kedai kopinya.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Kedai kopi diprediksi terus bermunculan di Indonesia karena permintaannya masih besar.
Foto: Republika/Nora Azizah
Kedai kopi diprediksi terus bermunculan di Indonesia karena permintaannya masih besar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah kedai kopi di kota-kota besar terus bertambah. Walaupun sudah banyak bermunculan, peluang untuk kedai kopi baru masih besar.

Hal ini diungkapkan oleh Head Coffee Curator Gordi, Arief Said. “Peluangnya besar karena memang sudah ada data survei dari Departemen Perdagangan bahwa ternyata konsumsi kopi meningkat hampir 15 persen per tahunnya selama beberapa tahun. Sedangkan produksi kopinya sendiri di Indonesia masih lima persen pertumbuhannya. Jadi ini kondisi di mana kita lumayan over demand. Memang pertumbuhannya sangat besar,” ujarnya kepada Republika usai sesi How Brands Help Connects Coffee Shop with Consumers, di Jakarta belum lama ini.

Baca Juga

Bagi mereka yang baru masuk industri kopi, Arief menyarankan untuk mencari identitas yang mau dibawa kedai kopinya. Kalaupun belum ada identitas spesifik yang mau dibawa, menurutnya juga tidak masalah.

Coffee shop itu masih neighbourhood sekali, masih bergantung pada tetangga yang ada di coffee shop tersebut. Karena kondisi Jakarta macet, dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi mengapa akhirnya kopi Kulo, Janji jiwa, pop up di mana-mana harapannya di daerah lingkungan itu saja bisa meraja dan mendapatkan pelanggan mereka.”

Arief menambahkan dengan pertumbuhan konsumsi kopi, pada akhirnya pelanggan pun menjadi tidak loyal pada suatu merek. Kalau sudah minum kopi A, mereka bisa saja minum yang lain.

“Bahkan pagi ngopi di Anomali, sore di Starbucks, nanti malam kumpulnya di Common Grounds. Bukan hal buruk dengan banyaknya pemain di industri kopi saat ini,” ujarnya.

Agar kedai kopi bisa bertahan, menurut Arief butuh keterlibatan pemilik. Entah pemilik ada di kedai kopi hanya untuk memantau, membantu membuatkan kopi atau lainnya. Hal ini membuat suatu merek mempunyai jiwa, sehingga mereka bisa lebih adaptasi dengan permintaan pasar.

“Ternyata pasar butuh bukan seperti ini, tapi butuh seperti es kopi susu Tuku misalnya. Kebutuhan seperti ini tidak bisa dilepaskan begitu saja, tapi memang harus dari para pemilik tersebut yang bisa mendengarkan, menyerap, dan menganalisa kebutuhan bisnisnya sehingga pada akhirnya bisa membuat keputusan ke arah bisnisnya dia mau kemana,” jelasnya.

Seperti kedai kopi Gordi di kawasan Jeruk Purut, Jaksel. Gordi ingin menghubungkan banyaknya pemain dan pelanggan di luar sana.

Awalnya Arief sendiri bingung, apakah ia suka kopi Anomali atau Starbucks atau apa.

“Kami hadir harapannya mencoba menggabungkan si brand-brand yang ada di industri kopi saat ini untuk mencoba mempromosikan mereka. Jadi penengah, memilih, mengkurasikan kopi mana yang lebih cocok buat kalian, kalau sukanya lebih strong, brand ini yang direkomendasikan. Dan ini masih menjadi visi karena saya belum capai ke situ, jadi kenapa akhirnya di coffee shop kami ada brand-brand lain untuk kami sajikan untuk pelanggan kami,” tambahnya.

Gordi saat ini punya dua cabang. Namun mereka memfokuskan diri menjadi kurator yang menggunakan media daring sebagai tempat konsumen bisa berlangganan biji kopi.

“Ketika mau seduh di rumah bisa kunjungi website dan berlangganan kopi, seperti langganan koran. Nanti kopinya datang sendiri ke rumah setiap dua minggu sekali.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement