Kamis 28 Mar 2019 17:32 WIB

Studi: Polusi Udara Pengaruhi Kesehatan Mental Remaja

Perkotaan identik dengan polusi atau pencemaran udara

Rep: Santi Sopia/ Red: Christiyaningsih
Polusi Udara
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Polusi Udara

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perkotaan identik dengan polusi atau pencemaran udara. Pencemaran udara merupakan kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, hingga tumbuhan.

Polusi juga tentunya mengganggu estetika dan kenyamanan di suatu daerah. Dampak polusi udara ini seringkali dikaitkan dengan kesehatan fisik. Tetapi ternyata polusi udara juga dapat mempengaruhi kesehatan mental terutama terhadap remaja.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam JAMA Psychiatry meneliti 2.063 remaja Inggris yang kesehatannya telah diikuti sejak lahir hingga usia 18 tahun. Hampir sepertiga dari mereka mengatakan memiliki setidaknya satu pengalaman psikotik. Pengalaman itu mulai dari perasaan paranoia yang ringan hingga gejala psikotik yang parah sejak usia 12.

"Para peneliti menghubungkan data polusi udara ke lokasi di mana mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di rumah, sekolah atau tempat kerja," tulis laporan New York Post, Kamis

(28/3).

Dibandingkan dengan remaja yang tinggal di tempat dengan tingkat polusi paling rendah, mereka yang berada di daerah yang paling tercemar adalah 27 persen hingga 72 persen lebih mungkin mengalami pengalaman psikotik. Hal itu bergantung pada jenis polutan yakni paparan dua polutan, nitrogen dioksida dan nitrogen oksida yang menyumbang 60 persen.

Penelitian ini mengontrol sejarah psikiatrik keluarga, psikosis ibu, penggunaan narkoba, status sosial ekonomi, karakteristik sosial lingkungan, dan faktor-faktor lain. Akan tetapi ini adalah penelitian observasional yang tidak membuktikan sebab-akibat.

Dari satu studi ini, peneliti mengatakan memang tidak bisa disimpulkan polusi udara menyebabkan psikosis atau gangguan kesehata mental. Akan tetapi, telah ditemukan potensi dan korelasi antara keduanya. "Penelitian hanya mengatakan bahwa hal-hal ini biasanya terjadi bersamaan," kata penulis utama, Helen L. Fisher yang merupakan psikolog penelitian di King’s College London.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement