Rabu 27 Mar 2019 14:13 WIB

Bekerja di Akhir Pekan Tingkatkan Risiko Depresi

Bekerja di akhir pekan bagi sebagian orang mungkin tidak bisa ditolak

Rep: Farah Noersativa/ Red: Christiyaningsih
Lelah bekerja (ilustrasi)
Foto: Boldsky
Lelah bekerja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Bekerja pada akhir pekan bagi sebagian orang mungkin merupakan sebuah kewajiban yang tak bisa ditolak. Namun, ternyata sebuah penelitian di Inggris menyatakan bekerja pada akhir pekan akan berdampak pada kesehatan mental pekerja. Hasil studi tetrsebur sudah dipublikasikan dalam Journal of Epidemiology and Community Health.

Dilansir Asia One Selasa (26/3), para peneliti mengatakan ketidakjelasan bagaimana waktu yang dihabiskan oleh para pekerja sampai dengan akhir pekan berdampak kepada kesehatan mental mereka. Meskipun, saat ini semakin banyak orang di seluruh dunia bekerja lebih lama karena lebih banyak bisnis beroperasi 24 jam dan tujuh hari sepekan.

Dalam studi itu, para peneliti memeriksa data survei yang representatif secara nasional dari 11.215 pria dan 12.188 wanita yang bekerja di Inggris antara 2010 dan 2012. Hampir setengah dari wanita bekerja kurang dari 35 jam sepekan, sementara mayoritas pria bekerja lebih lama.

Hanya setengah dari jumlah wanita yang bekerja setidaknya pada beberapa akhir pekan. Sedangkan pada responden pria, dua pertiga dari jumlah mereka bekerja di beberapa akhir pekan.

Penelitian itu menemukan dibandingkan dengan mereka yang bekerja standar, yaitu yang bekerja 35 hingga 40 jam sepekan, pria yang bekerja lebih sedikit memiliki lebih banyak gejala depresi. Wanita memiliki risiko depresi yang lebih besar hanya ketika mereka bekerja sedikitnya 55 jam dalam sepekan.

Wanita yang bekerja pada akhir pekan memiliki lebih banyak gejala depresi daripada wanita yang hanya bekerja di hari kerja. Sementara pria, memiliki lebih banyak gejala depresi dengan pekerjaan akhir pekan hanya ketika mereka juga tidak menyukai kondisi kerja mereka.

"Hasil penelitian kami menunjukkan perbedaan gender dalam hubungan antara jam panjang dan tidak teratur dan gejala depresi," kata pemimpin studi yang merupakan seorang peneliti kesehatan masyarakat di University College London, Gillian Weston.

Weston menyertakan perempuan dari angkatan kerja dalam penelitiannya karena banyak manfaat sosial, ekonomi, dan kesehatan yang diperoleh dari bekerja di pekerjaan yang baik. Dengan adanya pekerja yang memiliki jam kerja yang panjang dan tidak teratur, maka dia menyarankan kepada pengusaha dan anggota keluarga untuk anggota keluarga yang demikian.

Akan tetapi, hal yang perlu ditekankan adalah studi ini tidak dirancang untuk membuktikan apakah waktu shift atau jumlah jam kerja per pekan dapat secara langsung berdampak pada risiko depresi. Para peneliti juga hanya mengandalkan pekerja untuk melaporkan gejala depresi mereka sendiri.

Meski demikian, hasilnya menunjukkan pengusaha atau pemilik perusahaan harus menyadari mengenai dampak penerapan jam kerja yang panjang, terutama pada akhir pekan. Pola kerja seperti ini dapat membahayakan kesehatan mental pekerja.

"Kita perlu beralih dari budaya tuntutan yang tidak realistis dan upah rendah ke budaya di mana pekerja didukung dan dihargai, merasa mereka memiliki kendali, merasa mereka memiliki tujuan, dan diberi waktu yang cukup untuk pemulihan dan liburan. Ini akan menguntungkan pekerja baik pria maupun wanita sehingga menghasilkan tenaga kerja yang lebih bahagia dan lebih sehat. Tentu saja tenaga kerja yang sehat juga akan menguntungkan perusahaan,” jelas Wetson.

Menurut seorang peneliti di Universitas Lancaster di Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian ini, Sabir Giga, waktu berjam-jam mungkin akan berdampak pada kesehatan mental karena berbagai alasan. Hal itu termasuk memiliki potensi untuk mengambil waktu dari kegiatan sosial, kehidupan pribadi, dan istirahat.

Perempuan mungkin merasakan beban ini lebih akut karena mereka memiliki lebih banyak tanggung jawab karena juga memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di rumah. Padahal mereka juga telah meluangkan waktu untuk pekerjaan apa pun di luar rumah.

Pekerja mungkin tidak dapat mengendalikan jam mereka atau jadwal pekerjaan mereka sebanyak yang mereka inginkan. Akan tetapi orang masih mungkin dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko depresi mereka. Giga menyarankan para pekerja dapat melalui pola kerja itu dengan melakukan istirahat teratur sambil bekerja. Pekerja juga perlu memprioritaskan pekerjaan dan belajar untuk mengatakan 'tidak’.

“Bekerja dari rumah atau secara fleksibel bila mungkin, berkomunikasi secara teratur dan terbuka dengan anggota keluarga, mitra dan kolega, dan secara bermakna mematikan dan memanfaatkan waktu Anda saat jauh dari pekerjaan,” kata Giga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement