REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit tuberkulosis (TB) mungkin lebih identik sebagai penyakit infeksi bakteri yang menyerang paru-paru. Padahal, TB juga bisa mengenai organ-organ tubuh lain yang mungkin jarang terpikirkan oleh masyarakat awam.
"Kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) memang umumnya, sekitar 85 persen menyerang paru," jelas pakar paru Indonesia Dr dr Erlina Burhan MSc SpP(K) dalam peringatan Hari TB Sedunia yang digelar oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) di Rumah PDPI, Senin (25/3).
Erlina mengatakan paru-paru menjadi organ yang paling sering diserang kuman TB karena paru-paru merupakan organ yang langsung berhubungan dengan dunia luar. Udara yang terhirup melalui hidung akan langsung bermuara ke paru-paru.
Meski begitu, sekitar 15 persen kasus penyakit TB terjadi di organ-organ lain dalam tubuh. Beberapa organ yang bisa terserang kuman TB adalah ginjal, usus, kulit, tulang, serta selaput otak.
"Sekitar 15 persen bisa menyerang organ lain melalui saluran limfatik maupun saluran pembuluh darah," jelas Erlina.
Gejala TB akan berbeda tergantung organ mana yang diserang. Sebagai contoh, TB paru biasanya disertai dengan gejala batuk, sesak hingga batuk berdarah. Bila mengenai usus, TB akan menunjukkan gejala seperti diare atau perut kembung.
Bila mengenai tulang, gejala TB yang mungkin timbul meliputi nyeri tulang hingga tulang bengkok. TB pada kulit dapat memunculkan gejala seperti timbulnya ulkus atau borok pada kulit yang tidak kunjung sembuh. Semakin lama, luka ini bisa semakin dalam.
"Pada selaput otak, atau meningitis TB, bisa pusing, sakit kepala, bahkan bisa tidak sadar," ujar Erlina.
Erlina mengatakan penanganan TB yang menyerang organ-organ lain ini sama seperti penanganan TB paru. Yang berbeda biasanya dari segi lama pengobatan. Bila pengobatan TB paru biasa berlangsung sekitar enam bulan, durasi pengobatan TB pada organ-organ lain cenderung lebih lama.
"Bisa sampai satu tahun," terang Erlina.
Erlina mengatakan pasien TB bisa mendapatkan obat dalam bentuk fix dose combination (FDC) secara gratis untuk mengobati TB. Obat ini terdiri dari rifamphisin, isoniazid, pirazinamid, dan ethambutol.
Erlina menegaskan obat TB harus dikonsumsi secara rutin dan tidak terputus sesuai anjuran dokter, minimal enam bulan. Sebagian pasien TB terkadang berhenti menggunakan obat setelah dua bulan menjalani pengobatan karena sudah merasa lebih baik.
Menghentikan pengobatan TB sangat tidak dianjurkan karena berisiko dapat memicu terjadinya TB Resisten Obat (TB RO) di kemudian hari. TB RO jauh lebih sulit ditangani karena penyakit ini tak bisa ditangani dengan obat-obatan TB di lini pertama.
"Jangan sampai terjadi (TB RO). Dicegah dengan mengobati pasien TB biasa supaya tidak jadi TB RO," jelas Erlina.