REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Lifestyle Center (Inhalec) menilai wisata halal masih kurang perhatian dari pemerintah. Hal ini karena koordinasi antara pemerintah dan pelaku usaha industri pariwisata masih minim.
Menurut Wakil Ketua Inhalec, Jetti Rosia Hadi, sektor pariwisata halal di Indonesia harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Perhatian yang harus diberikan yakni berupa pembinaan khususnya kepada pelaku usaha perhotelan untuk bisa memberikan fasilitas yang memenuhi standar kehalalan. Terutama, ketersediaan tempat ibadah yang layak dan mudah di jangkau.
“Jadi bagaimana pemerintah bisa mengintervensi pelaku usaha, itu yang penting. Saat ini belum ada perhatian, padahal potensinya besar,” ujar Jetti.
Asosiasi Travel Halal Indonesia (Athin) menilai selama ini promosi destinasi wisata halal masih sangat kurang. Padahal menurut Sekretaris Jenderal Athin, Cheriatna, wisata halal sudah begitu dikenal oleh masyarakat domestik maupun para wisatawan mancanegara. Selain itu, kebutuhan masyarakat khususnya muslim untuk berwisata dengan nyaman terus meningkat.
"Umat Islam butuh sekali wisata halal. Saya merasa promosi masih kurang giat. Padahal artis, pejabat, hingga ulama sudah mulai membantu mengenalkan wisata halal,” kata Cheriatna.
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai definisi wisata halal menjadi salah satu kendala yang menyebabkan destinasi halal Indonesia dinilai masih kurang populer. Masyarakat di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, cenderung melihat wisata halal sama dengan wisata religi.
"Jadi masalah pemahaman pariwisata halal, yang jadi bias di masyarakat. Karena masyarakat mikirnya wisata halal itu sama dengan wisata syariah atau religi," ujar Pakar Pariwisata Universitas Andalas Sari Lenggogeni kepada Republika, Senin (25/3).
Sari menjelaskan wisata halal merupakan adopsi dari negara- negara non Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melihat potensi besar dari pertumbuhan muslim di seluruh dunia. Wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim di negara- negara non OKI, seperti penyediaan tempat ibadah (mushola) dan restoran halal.
"Tetapi hal ini kemudian menjadi misintepretasi, ketika Kementerian Pariwisata mengadopsi wisata halal, karena diciptakan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia. Karena mayoritas muslim jadi masyarakat pikir semuanya sudah pasti halal dan wisata halal sama seperti wisata religi," paparnya.