REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu terkait stunting menjadi salah satu bahasan dalam Debat Pilpres 2019 putaran ketiga yang diikuti oleh kedua calon wakil presiden, Kiai Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno, Ahad (17/3). Stunting namun bukan merupakan topik yang lazim di banyak telinga.
Global Nutrition Report 2018 memasukkan Indonesia dalam daftar negara dengan tiga masalah gizi balita sekaligus, yaitu stunting, wasting atau kurus dan obesitas. Stunting itu sendiri merupakan bentuk gagalnya pertumbuhan yang dicirikan dengan tinggi badan anak lebih pendek dari anak seusianya. Tidak hanya fisik saja yang terhambat, namun juga kecerdasannya tersendat.
Karena 80 persen kecerdasan terbangun pada 1.000 hari pertama kehidupan, perkembangan kecerdasan yang gagal terbentuk tidak bisa diperbaiki. Peneliti utama pada Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epitemiologi Klinik, dan juga anggota Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Sandjaja, MPH, DRPH, mengatakan anak balita yang tidak mencapai tinggi ideal bisa disebabkan karena kurang gizi dalam jangka lama. Hal itu mulai dari anak pada saat dalam kandungan, faktor ibu yang mengalami kekurangan gizi, pada saat lahir balita kurang mendapat ASI, dan pada waktu sudah mendapat makanan tambahan.
Menurut Sandjaja, ibu yang selama hamil kurang gizi berisiko pada kelahiran sang bayi. Hal itu diantaranya hamil kurang bulan, dan bayi berat badan lahir rendah kurang dari 2.500 gram. Sementara sang ibu yang mengalami kurang darah atau kurang gizi, beresiko mengalami pendarahan dan kematian yang lebih tinggi. Banyak penelitian mengatakan, tambahnya, bayi yang lahir kurang bulan atau BBLR berisiko mengalami kematian lebih tinggi.
Sementara bayi yang lahir dalam keadaan BBLR, berdampak pada risiko selanjutnya yaitu gizi kurang, gizi buruk dan stunting. Bahkan menurutnya, anak yang mengalami BBLR bisa berisiko lebih tinggi terkena penyakit degeneratif pada masa dewasa, seperti jantung dan diabetes.
Nutrition Program Manager Helen Keller International (HKI) di Indonesia, dr. Dian N. Hadihardjono, Msc, mengatakan stunting disebabkan oleh pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan. Selain itu, bayi yang sering sakit atau mendapat pengasuhan yang kurang baik juga berisiko terkena stunting. Akibat asupan gizi yang kurang baik, anak penderita stunting memiliki risiko kematian 4 kali lebih besar dibandingkan anak yang memiliki gizi seimbang.
Pemerintah telah memberikan panduan cara memilih asupan gizi yang baik. Dalam PP No.33 tahun 2012, hak ibu untuk memberikan ASI Ekslusif kepada bayinya sampai enam bulan setelah kelahiran dijamin. Tujuannya, tentu untuk memastikan bayi mendapat asupan gizi yang optimal pada periode emas 1.000 hari pertama kehidupan.
Menurut dokter Dian, jumlah bayi yang mendapat ASI hingga berusia 2 tahun memang cukup tinggi. Namun, ia menemukan bahwa praktik pemberian ASI ekslusif masih rendah.
Dokter Nia bahkan menemukan bahwa hanya sedikit anak-anak yang menyantap sayuran kuning/jingga (45,1 persen) atau buah-buahan lain (42,4 persen) dalam hasil penelitian di kota Bandung. Sebaliknya, ia menemukan banyaknya konsumsi makanan ringan buatan pabrik (81,6 persen). Padahal menurutnya, produk makanan ringan buatan pabrik umumnya tinggi kandungan gula dan garam, serta rendah gizi. Konsumsi yang tinggi selama periode pemberian makanan pendamping ASI dapat menggantikan ASI dan makanan yang lebih bergizi, serta meningkatkan risiko obesitas dan terjadinya penyakit degeneratif.
Karena itulah, ia menekankan pentingnya pemilihan asupan gizi yang tepat sejak masa janin hingga anak mencapai usia 2 tahun. Hal itu untuk mencegah terjadinya stunting dan agar anak memiliki kecerdasan yang bersaing di era global.