Rabu 27 Feb 2019 12:18 WIB

Urban Farming di Indonesia Masih Sebatas Tren Gaya Hidup

Di negara lain, urban farming bermanfaat terhadap kebutuhan pangan kota.

Urban Farming: Petani memanen cabai rawit di kawasan lahan pertanian Sumur Welut di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/2/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Urban Farming: Petani memanen cabai rawit di kawasan lahan pertanian Sumur Welut di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Urban farming atau pertanian dengan lahan sempit di perkotaan idealnya bisa menjadi solusi mengatasi permasalahan atau kelangkaan pangan di masyarakat kota. Masalahnya, apakah urban farming di Indonesia sudah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan?

Di negara-negara lain, urban farming dapat memberikan manfaat terhadap kebutuhan pangan kota, tapi di Indonesia masih sebatas tren gaya hidup. Tren tersebut belum sepenuhnya dioptimalkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Baca Juga

Bahkan pemerintah sendiri dinilai masih kurang serius menjadikan pangan sebagai isu utama. Pembahasan pangan hanya dilakukaan saat ada krisis dan setiap kali krisis solusinya adalah impor.

Sebagai contoh program urban farming di tingkat daerah yang telah diterapkan di Kota Surabaya, Jawa Timur sejak 2010. Urban farming di Surabaya dilakukan dengan cara memberdayakan kelompok-kelompok tani.

Program urban farming selama ini disuarakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di beberapa kesempatan. Bahkan, Risma menyampaikan materi penanganan ketahanan pangan hingga pengentasan kemiskinan melalui urban farming saat menjadi pembicara di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York pada 19 Februari 2018.

photo
Urban Farming: Petani memasang plastik untuk pengusir hama di sawah di kawasan lahan pertanian Sumur Welut di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/2/2019).

Forum tingkat dunia PBB itu mengangkat tema "From Global Issues to Local Priorities: The Role Of Cities In The Global Agenda, Including Cities For Sustainable Development, Food Security, Nutrition Ad Climate Change". Pada kesempatan itu, Risma mengatakan urban farming yang diterapkan Pemkot Surabaya tidak menggunakan pestisida dan hanya menggunakan pupuk alami sehingga tidak ada bahan kimianya.

Warga Surabaya diajak menanam buah-buahan, sayuran, dan padi di tanah milik pemerintah dan juga di lingkungan mereka masing-masing. Pemkot Surabaya pun memberi mereka benih dan peralatan gratis.

"Saat ini, padi yang mereka tanam di Surabaya tidak hanya beras putih, tetapi juga beras merah dan hitam," ujarnya.

Hasil urban farming" ini untuk memasok kebutuhan di kota, termasuk di hotel dan restoran, serta beberapa didistribusikan ke kota-kota tetangga lainnya. Bahkan, sebulan sekali, Pemkot Surabaya juga menyelenggarakan pekan pertanian di Taman Surya Balai Kota Surabaya.

Acara itu untuk memamerkan semua produk pertanian lokal dari pertanian perkotaan. Sedangkan untuk mengendalikan inflasi, Pemkot Surabaya secara teratur membuat operasi pasar murah dan bazar selama bulan puasa yang biasanya kebutuhan makanan pokok sangat tinggi.

photo

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Presley mengatakan urban farming yang digagas sejak 2010 itu dinilai mampu memberdayakan kelompok tani di Surabaya. Salah satunya di wilayah Kelurahan Sumur Welut, Kecamatan Lakarsantri.

Sebagian besar masyarakat di wilayah Kelurahan Sumur Welut bekerja di bidang pertanian. Mereka menerapkan urban farming dengan memanfaatkan lahan kosong untuk usaha berbagai jenis pertanian, seperti bertanam padi, jagung, cabai dan sayuran.  

Hampir sekitar 80 persen masyarakat di Kelurahan Sumur Welut memilih bertanam cabai dengan alasan jenis tanaman hortikultura ini dinilai lebih menghasilkan keuntungan dengan masa tanam yang relatif cepat. Adapun di wilayah Kecamatan Lakarsantri terdapat delapan kelompok tani, dengan anggota berjumlah sekitar 622 orang. Sementara untuk luas lahan pertanian, mencapai 457 hektare dan saat ini masih aktif dikerjakan para petani.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Djoestamadji mengatakan urban farming pada prinsipnya memaksimalkan lahan yang sempit sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam, budidaya ikan dan peternakan. Dinas Pertanian mendorong warga menerapkan urban farming dengan menanam tanaman seperti cabai di rumahnya masing-masing. Selain cabai, warga juga disarankan menanam sawi.

"Program ini akan berlanjut untuk mencapai ketahanan pangan warga Surabaya. Masyarakat Surabaya yang berminat melakukan pelatihan urban farming dapat mengajukan permintaan bibit tanaman kepada DKPP," katanya.

photo
Urban Farming

Ketua Kelompok Tani Sumur Welut Makmur, Heri menyampaikan dalam setiap tanam cabai, mereka mampu menghasilkan panen 14 kali. Hasil pertanaman mencapai satu kilogram untuk jenis cabai besar.

Sementara untuk cabai rawit, menghasilkan panen sekitar setengah kilogram pertanaman. Bahkan, dalam satu hektare tanaman cabai, mereka mampu menghasilkan 2,5 kwintal.

"Untuk masa tanam cabai merah, empat hari sekali sudah dipetik. Kalau cabai rawit enam hari sekali, tapi kalau harga (cabai) lagi baik, lima hari sudah dipetik," katanya.

Untuk mendukung hasil produk pertanian mereka, setiap bulan DKPP juga mengadakan kegiatan bertajuk pekan pertanian, sebagai wujud komitmen dalam mengembangkan dan mempromosikan produk pertanian, perikanan dan peternakan di Kota Surabaya. Salah seorang petani setempat, Heri mengaku aktif mengikuti acara pekan pertanian yang digelar di Balai Kota Surabya untuk mempromosikan dan menjual hasil pertaniannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement