Selasa 26 Feb 2019 17:16 WIB

Mengupas Jejak Trem dan Perkeretaapian di Bumi Arema

Tak adanya catatan pergolakan maupun penolakan dari rakyat setempat.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Agus Yulianto
Sejarah trem di Kota Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang mengadakan kajian sejarah trem di Museum Mpu Purwa, Malang.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Sejarah trem di Kota Malang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang mengadakan kajian sejarah trem di Museum Mpu Purwa, Malang.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak banyak yang tahu bahwa Kota Malang sesungguhnya memiliki jejak sejarah trem atau perkeretaapian yang cukup kuat. Bahkan, peninggalannya disebut-sebut masih tersisa di beberapa titik.

Pemerhati kereta api (KA) Tjahjana Indra Kusuma menceritakan, Malang Raya di masa lalu, dikenal sebagai daerah pedalaman.  Alasan kuatnya, karena wilayahnya berada di dataran rendah dan tinggi. Meski demikian, daerah ini memiliki potensi hasil bumi yang cukup bagus seperti gula sehingga banyak bermunculan pabrik-pabrik komoditas tersebut.

Karena potensi demikian, hal wajar jika Malang membutuhkan alat transportasi massal. Bukan sekedar mengangkut hasil bumi sebagai pemasukan Belanda saat itu, tapi juga untuk tenaga kerja atau manusianya. 

"Jadi dibutuhkan sarana massal yang alternatif dan saat itu banyak investor yang mau menanamkan jalur kereta api," kata pria disapa Indra tersebut di Museum Mpu Purwa, baru-baru ini.

Berdasarkan catatan sejarah, jaringan induk KA antarkota milik SS (Staatsspoorwagen) mulai membuka jalur kereta pertama kali pada 1879. Kala itu, Malang yang berada di bawah karesidenan Pasuruan tersebut sudah memiliki jalur dari Bangil sampai Kotabaru. Kemudian berlanjut di 1896 dengan jalur antara Blitar dan Kotalama.

Di masa 1897 hingga 1900, kata dia, kereta berukuran ringan yang paling mendominasi di sejumlah stasiun dan halte di Malang Raya. Oleh sebab itu, Indra berpendapat, keberadaan kereta pada dasarnya bukan karena untuk mengangkut hasil bumi semata. Orientasi awalnya untuk mengangkut penumpang. 

Kereta jenis berat sendiri mulai mewabahi Malang sekitar 1913 sampai 1924. Bukti ini menguatkan bahwa transportasi ini sudah mulai berfungsi untuk mengangkut hasil bumi dari Malang Selatan ke Kota Malang. Hasil-hasil bumi tersebut antara lain kayu jati, bahan baku gula seperti tebu dan sebagainya. 

"Untuk menarik hasil bumi ini, mereka butuh kereta api berkekuatan lebih besar. Dan pada akhirnya juga untuk mengangkut manusia juga. Mungkin suku cadang teknisi juga sudah berubah," tambah dia.

Dari sejumlah hal yang ada, Indra mengaku, menemukan hal unik dari pembangunan kereta api di Malang Raya. Dia tak menemukan adanya catatan pergolakan maupun penolakan dari rakyat setempat. Hal ini berbeda jauh dengan yang terjadi di Yogyakarta di mana telah mengakibatkan Perang Diponegoro.

"Itu (Perang Diponegoro) kan masalahnya karena serobotan tanah, Malang kok malah adem ayem," ujarnya.

Uniknya lagi, ia melanjutkan, jalur trem diciptakan sebelum Malang menjadi kota praja di 1914. Karena data ini, Indra mengaku, penasaran koordinasi seperti apa yang dilakukan Belanda dengan karesidenan di masanya. Apalagi, jalur trem diperbolehkan melintas di tengah kota seperti di area Jalan Ijen, Kota Malang saat ini.

Jalur trem atau kereta api di Malang Raya memang tidak hanya terbentang antarkota. Namun, ia menambahkan, juga bertebaran di dalam kota sehingga melintasi banyak titik. Selain di tengah jalan Ijen, juga dilaporkan pernah membelah di antara dua pohon beringin di Alun-alun Kotak Malang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement