Sabtu 23 Feb 2019 21:25 WIB

Adik dengan Kakak Laki-Laki Kemungkinan Diintimidasi

Semakin besar keluarga, semakin besar kemungkinan intimidasi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Kakak beradik bersaudara.
Foto: Pexels
Kakak beradik bersaudara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota keluarga paling muda kemungkinan besar mengalami intimidasi dalam keluarga. Sedangkan kakak tertua kemungkinan besar akan melakukan intimidasi dalam keluarga besar tersebut.

Sebuah studi di Inggris menyatakan, semakin besar keluarga, semakin besar kemungkinan akan ada intimidasi dalam jajaran saudara kandung. Dalam keluarga yang lebih besar, adik kemungkinan besar akan diintimidasi. Pelakunya mungkin anak laki-laki dan mungkin anak tertua di rumah.

Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko seorang anak untuk berada di kedua sisi dinamika intimidasi dapat membantu dalam merumuskan cara untuk mencegah perilaku ini. "Yang paling penting, intimidasi saudara kandung tidak terkait dengan apakah ini rumah tangga dengan dua atau satu orang tua, pendapatan atau kelas sosial itu terjadi pada keluarga miskin dan kaya," kata rekan penulis studi Dieter Wolke, dikutip dari Channel New Asia, Jumat (22/2).

Studi yang dirilis dalam Developmental Psychology menyatakan, kakak beradik yang memiliki kasus perundungan ini berasal dari sumber daya yang tersedia.  Peneliti psikologi di Universitas Warwick di Coventry mengatakan, masalah ini muncul karena ukuran perhatian, seperti ukuran porsi makanan di keluarga miskin atau smartphone baru di keluarga kaya.

"Ini tentang dominasi saudara dalam keluarga!" kata Wolke.

Tim Wolke menyatakan, sekitar 85 persen anak-anak tumbuh dengan setidaknya satu anak lain dalam keluarga. Meskipun ini beberapa hubungan dekat yang paling lama bertahan untuk banyak orang, mereka juga dapat ditandai dengan meningkatnya konflik yang mengarah pada masalah kesehatan fisik dan mental yang langgeng.

Untuk studi saat ini, para peneliti menganalisis data pada 6.838 anak-anak Inggris yang lahir pada tahun 1991 dan 1992, serta ibunya. Ketika anak-anak berusia lima tahun, ibu mereka melaporkan seberapa sering anak-anak menjadi korban atau pelaku intimidasi dalam keluarga.

Kemudian, ketika anak-anak mencapai usia 12 tahun, mereka melaporkan pengalaman sendiri dengan intimidasi dalam enam bulan sebelumnya dan usia ketika pertama kali terlibat dalam perilaku ini sebagai korban atau pelaku. Dari data itu, peneliti mendefinisikan intimidasi saudara kandung sebagai pelecehan psikologis seperti mengatakan hal-hal buruk atau menyakitkan, pelecehan fisik seperti memukul atau menendang atau mendorong, atau pelecehan emosional seperti berbohong atau menyebarkan desas-desus menyakitkan.

Mereka menempatkan anak-anak dalam empat kategori berdasarkan pengalaman mereka. Kategori tersebut adalah korban, pengganggu, korban pengganggu yang mengalami ini sebagai target dan pelaku, dan mereka yang sama sekali tidak terlibat dengan perilaku ini.

Peneliti juga melihat karakteristik keluarga, orang tua dan anak secara individu seperti jumlah total anak di rumah, status perkawinan ibu, latar belakang sosial ekonomi keluarga, dan paparan kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan anak. Secara keseluruhan, 28 persen anak-anak dalam penelitian ini terlibat dalam intimidasi sebagai korban, pelaku, atau keduanya.

Pelecehan psikologis adalah yang paling umum, mempengaruhi 41 persen korban dan dipraktikkan oleh 34 persen pelaku. Sebanyak sekitar 11 persen anak-anak itu adalah pengganggu dan korban. Sekitar 10 persen dilaporkan hanya korban dan 7 persen hanya pelaku.

"Ada banyak cara intimidasi dilakukan dalam keluarga. Kadang-kadang itu disembunyikan oleh korban yang takut membuat si penindas bermasalah," kata kata peneliti psikologi di University of Victoria di Kanada Bonnie Leadbeater.

Psikolog di West Chester University di Pennsylvania Stevie Grassetti menyatakan, salah satu cara agar orang tua dapat mencegah perundungan dan viktimisasi adalah dengan melatih anak-anak melalui strategi tentang bagaimana menangani situasi yang menantang. Orang tua harus berbicara kepada anak-anak mereka tentang nilai-nilai dan harapan mereka dan membantu membimbing anak-anak berinteraksi dengan saudara kandung dengan cara prososial.

"Bagi anak-anak yang berada di antara pelaku intimidasi terhadap saudara kandung, orang tua harus memperkuat intervensi atas nama korban," kata ahli yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement