REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar gizi Prof Hardinsyah, MS menyebut kurangnya asupan asam lemak esensial DHA dapat menganggu perkembangan otak dan kemampuan belajar pada anak-anak. Hardinsyah yang juga Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia mengatakan DHA bersama kelompok asam lemak esensial yang lain memegang peranan penting bagi perkembangan otak anak.
"Defisit DHA bisa menyebabkan kerusakan syaraf," kata Guru Besar IPB itu.
Lebih jauh defisiensi DHA otak ditemukan mempengaruhi penglihatan dan perkembangan kognitif pada bayi prematur dan bayi dengan berat badan rendah. Oleh karenanya, Rektor Universitas Sahid itu mengatakan pentingnya asupan asam lemak esensial bagi perkembangan anak-anak.
Faktanya, berdasarkan hasil penelitian pakar gizi dari UI dan IPB, diketahui lebih dari 80 persen anak Indonesia terbukti kekurangan DHA. Padahal DHA salah satu unsur gizi yang berpengaruh dalam pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Penelitian yang dilakukan berdasar dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 itu menemukan bahwa 8 dari 10 anak usia sekolah Indonesia yang berumur 4-12 tahun kekurangan nutrisi otak sebab hanya mendapatkan sedikit asupan asam lemak esesial (Essential Fatty Acid) khususnya asupan DHA dan Omega 3. Asam Lemak Esensial (EFA) sendiri merupakan kelompok asam lemak yang penting bagi kesehatan manusia dan harus tercukupi dari asupan makanan.
Hasil ini menurut dia, sungguh mengejutkan lantaran kekurangan asupan Omega 3 dan DHA bisa berbahaya dalam jangka menengah dan panjang. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam Pediatrics edisi Agustus 2001 menemukan bahwa menambahkan DHA dan asam lemak omega lain, ARA, pada formula bermanfaat pada penglihatan, pergerakan, dan perbendaharaan kata dari bayi.
Di sisi lain, hasil penilaian tentang efektivitas pendidikan sekolah dasar di Indonesia juga belum bisa memberikan hasil yang memuaskan. Kemampuan nalar siswa dinilai masih rendah, meski jam pelajaran SD di negeri ini lebih banyak dibanding negara lain.
Fakta itu didapat sebagai Hasil Penilaian Pendidikan untuk Kebijakan yang dilaksanakan oleh Kemendikbud, pada 14 Desember 2016. Sebagai perbandingan, dalam satu tahun, Indonesia memberlakukan 1.095 jam pelajaran. Sedangkan Korea Selatan hanya 903 jam pelajaran per tahun.
Di Jepang bahkan lebih sedikit, mereka hanya memberlakukan 712 jam pelajaran per tahun. Dan hasil penilaian pendidikan mereka berada di peringkat atas dunia.