REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita mengatakan waktu terbaik untuk penanganan pasien yang mengalami serangan jantung ialah di bawah tiga jam sejak kejadian.
"Benefit terbesar ada pada tiga jam pertama," kata Dafsah A Juzar dalam diskusi tentang penanganan pada sindroma koroner akut atau serangan jantung di Jakarta, Senin (18/2).
Ia menambahkan, apabila pasien terlambat ditangani setelah tiga jam, tingkat mortalitasnya naik satu persen di setiap 30 menit keterlambatan penanganan sejak tiga jam pertama usai serangan. Dafsah mengatakan sistem penanganan pasien serangan jantung di Indonesia masih berada di angka enam sampai tujuh jam sejak kejadian hingga benar-benar ditangani oleh dokter. Faktornya disebabkan mulai dari terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan, dan juga saat dalam penanganan di rumah sakit.
Ade Meidian Ambari dari Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI) mengatakan waktu paling lama dalam penanganan reperfusi atau proses membuka aliran darah yang tersumbat pada pasien yang terkena serangan jantung ialah 12 jam. "Semakin lama pasien datang, semakin buruk prognosisnya, yaitu masa depan pasien ini bisa gagal jantung dan sebagainya," kata dia.
Semakin cepat penanganan reperfusi pada pembuluh darah, semakin banyak otot jantung yang dapat terselamatkan. Sebaliknya, jika masa 12 jam setelah serangan jantung pertama, tidak ada lagi otot jantung yang berfungsi sehingga bisa menyebabkan gagal jantung.
Pada praktiknya di lapangan tidak sedikit pasien serangan jantung yang terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan, mulai dari kesadaran yang kurang hingga faktor lingkungan seperti kemacetan. Data menyebutkan pasien yang mengalami serangan jantung atau sindroma koroner akut bisa mendatangi lebih dari satu rumah sakit sebelum akhirnya benar-benar ditangani. Semakin lama waktu reperfusi dari kontak pertama serangan jantung semakin meningkatkan risiko kematian dalam 30 hari.