REPUBLIKA.CO.ID, Bukan hal aneh melihat orang yang lebih memilih menunduk danĀ 'bercengkrama' dengan ponsel pintar dibandingkan orang sekelilingnya. Hal ini bahkan terjadi sepanjang hari, di mana orang lebih suka berselancar di jejaring sosial dibandingkan membangun pertemanan dengan sekitar.
Sejatinya telah banyak penelitian yang meneliti besarnya dampak penggunaan sosial media pada kesehatan mental, namun masih banyak orang yang menutup mata. Sebuah studi terbaru dari Journal of Applies Biobehavioral Researce belum lama ini mengkaji kegiatan spesifik di media sosial yang memiliki keterkaitan dengan gangguan depresi mayor (MDD) pada remaja.
Dikutip dari goodmorningamerica.com, Kamis (17/1), MDD adalah diagnosis klinis gangguan mood yang mencakup gejala kesedihan yang berkepanjangan, keputusasaan, kemarahan atau sifat mudah marah. Dalam penelitian itu, terlihat perilaku penikmat media sosial yang memiliki gejala depresi. Pengguna media sosial yang memenuhi kriteria untuk gangguan depresi mayor lebih cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain yang mereka yakini lebih baik daripada diri mereka sendiri.
Dalam sisi yang lebih ekstrim, pengguna ini juga tidak akan ragu untuk melaporkan seseorang ketika merasa terganggu karena menandainya dalam gambar dimana dirinya tidak menarik. Pengguna ini biasanya jarang atau bahkan tidak pernah menyertakan anggota keluarga atau temannya dalam foto atau unggahan mereka. Selain itu, hal unik lainnya, pengidam MDD kebanyakan memiliki pengikut lebih sedikit di Instagram atau mengikuti lebih dari 300 orang di Twitter.
Adapun alasan sebagian besar penderita MDD menggunakan media sosial adalah untuk berbagi meme atau GIF. Mereka mengaku lebih cenderung menggunakannya untuk menjangkau lebih banyak interaksi.
Menurut Saumya Dave, dokter residen bidang psikiatri di New York City menjelaskan, penderita MDD cenderung lebih jarang mengunggah foto karena takut akan penilaian warganet. Sebaliknya mereka lebih memilih membagikan cerita melalui Snapgram.