Jumat 04 Jan 2019 13:41 WIB

Belanda, Pribumi, dan Dua Alun-Alun Kota Malang

Alun-alun sering memberikan pengumuman dari orang-orang kabupaten.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Suasana Alun-alun Kota Malang atau Alun-alun Kotak, Rabu (2/1).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Suasana Alun-alun Kota Malang atau Alun-alun Kotak, Rabu (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Jika ingin lebih tahu jejak sejarah Kota Malang, maka terdapat beberapa lokasi yang sepertinya wajib dikunjungi sebentar. Dua lokasi tersebut, yakni alun-alun Kota Malang dan bundaran atau lebih dikenal Tugu Malang saat ini.

Pegiat Sejarah dari Komunitas Jelajah Jejak Malang, Devan Firmansyah mengatakan, Kota Malang sesungguhnya memiliki dua alun-alun. Pertama, alun-alun kotak atau yang kini dikenal sebagai Alun-alun Kota Malang. 

"Disebut kotak karena bentuknya kotak kalau dari atas. Alun-alun ini yang berada di dekat Masjid Jami," kata Devan saat ditemui Republika.co.id, di SMK Negeri 4 Kota Malang, baru-baru ini.

Alun-alun berikutnya berada di Jalan Tugu atau tepatnya di depan Balai Kota Malang. Warga Malang era dulu menyebutnya alun-alun bundar karena bentuknya demikian. Sementara saat ini lebih dikenal dengan sebutan Tugu Malang atau Tugu Kemerdekaan.

Tak ada banyak yang tahu bahwa keberadaan dua alun-alun ini memiliki keterkaitan kuat di masa lalu. Terlebih lagi keduanya sama-sama didirikan di era kolonial Belanda. 

"Yang jadi pertanyaannya kan kalau sudah ada alun-alun kotak (alun-alun Kota Malang -- sekarang), kenapa harus ada alun-alun bundar (tugu Malang-- sekarang)? Logikanya, buat apa sih? Ngabis-ngabisin anggaran buat bangun dua alun-alun itu," ujar pria kelahiran 1991 ini.

photo
Suasana Balai Kota Malang di Jalan Tugu. (Foto: Wilda Fizriyani/Republika)

Dari sisi sejarah dan beberapa literatur, Devan mengungkapkan, alun-alun kotak lebih dulu didirikan sejak Bupati Malang pertama, Notodingirat I. Di 1818, Malang masih menjadi bagian Karesidenan Pasuruan. Karesidenan merupakan kumpulan kabupaten yang kala itu Malang berada dalam satu kelompok dengan Pasuruan dan Probolinggo.

Alun-alun kotak diperkirakan selesai dibangun pada 1882 di era pemerintahan Notodingirat II. "Baik Notodingirat I maupun II, kini makamnya ada di Gribig," katanya.

Munculnya alun-alun sendiri, kata Devan, jelas memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Karena di masanya Malang telah dianggap sebagai wilayah elit, penguasa memerlukan ruang publik. Sebuah wadah di mana pemerintah dan masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain.

"Fungsi alun-alun itu apa? Sebuah tempat yang digunakan dengan konsep ruang terbuka untuk publik. Kenapa perlu ada? Ya karena zaman itu kan nggak ada media sosial (medsos). Kalau mau dapat info, ya kumpul di alun-alun. Alun-alun sering memberikan pengumuman dari orang-orang kabupaten melalui stafnya kepada warganya," tambah dia.

Fungsi kedua, alun-alun menjadi media penting bagi Belanda yang saat itu menjadi penguasa. Para kolonial menjadikan alun-alun sebagai simbol pusat kota. Dengan kata lain, mereka menjadikan kawasan ini sebagai jalur administrasi untuk kepentingan ekonomi.

"Alun-alun itu semacam zonasi pembangunan ekonomi bagi Belanda. Di sekitarnya ada Javasche Bank yang sekarang jadi gedung BI (Bank Indonesia). Terus ada Escompto Bank yang sekarang jadi bank Mandiri," kata Devan.

Di sisi lain, terdapat pula kantor asisten residensi yang kini berdiri Kantor Pos Kota Malang. Mall Sarinah juga dulu sempat dijadikan pendopo kabupaten Malang sebelum akhirnya dipindahkan ke sisi lain. Pusat perbelanjaan Ramayana pernah menjadi penjara wanita yang kemudian kini dipindahkan ke Kebonsari, Malang.

Di sekitar alun-alun, Devan menyebutkan, adapula pusat hiburan yang dulunya berada di sebelah Ramayana. Kemudian terdapat bioskop untuk kaum borjuis dan hotel pelangi yang saat ini masih tegak berdiri di kawasan tersebut. Tak jauh dari situ, juga sempat berada Sekolah Cina yang sekarang menjadi pusat perbelanjaan Mandala. 

"Di tengah-tengah alun yang sekarang ada kolam atau pancuran itu dulunya ada pohon beringin. Di situ, ada trayek trem memanjang ke Kayutangan sampai RSUD Saiful Anwar. Trayek trem itu digunakan untuk mengirim tebu ke pabrik gula di Kebonagung, Malang," jelas pria asli Malang ini.

Dari konsep-konsep ini, Belanda jelas menjadikan alun-alun sebagai pusat pemerintahan dan pembangunan ekonomi. Tak hanya kawasan hiburan, mereka juga menempatkan titik penginapan, sekolah dan sebagainya di sekitar lokasi ini. Belanda juga sering menjadikan alun-alun sebagai tempat latihan para tentaranya.

"Mereka show force di sana. Seakan-akan mau menunjukkan ke pribumi jangan macam-macam," katanya.

Selain itu, Devan mengingatkan, peta alun-alun sebenarnya memiliki nilai filosofis sendiri. Secara umum, sebelah utara alun-alun di Jawa sering dijadikan lokasi pemerintahan. Sisi selatan acap dipakai untuk kepentingan warga seperti pasar besar.

"Di sebelah utara pemerintah, di selatan pasti ada pasar. Itu filosofinya semacam ada hubungan penguasa dan rakyat di antara dua sisi tersebut," tegas pria berkacamata ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement