Senin 31 Dec 2018 07:25 WIB

Amnesty: Twitter 'Tempat Beracun' untuk Wanita

Perempuan berkulit berwarna mendapat pelecehan lebih banyak daripada kulit putih.

Rep: MGROL116/ Red: Ani Nursalikah
Perempuan tak bisa lepas dari gadgetnya.
Foto: pexels
Perempuan tak bisa lepas dari gadgetnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International menggambarkan Twitter sebagai 'tempat beracun' bagi perempuan. Organisasi hak asasi manusia non-pemerintah itu merilis laporan pelecehan terhadap perempuan di Twitter, pekan lalu.

Amnesty menemukan perempuan berkulit berwarna (cokelat atau sawo matang) 34 persen lebih mungkin menjadi target ucapan kebencian daripada perempuan kulit putih. Perempuan berkulit hihtam 84 persen di-mention dalam twit melecehkan.

Menurut laporan itu, twit yang mengandung kekerasan terhadap orang berdasarkan ras, etnis, asal kebangsaan, orientasi seksual, gender, identitas gender, afiliasi agama, usia, cacat atau penyakit serius termasuk dalam konten kasar yang melanggar aturan Twitter itu sendiri. Konten bermasalah didefinisikan sebagai konten yang menyakitkan atau memicu permusuhan, terutama jika diulangi pada individu di beberapa kesempatan, tetapi tidak selalu berupa pelecehan.

Laporan itu juga menemukan sekitar satu dari 10 postingan yang menyebutkan wanita kulit hitam mengandung bahasa kasar. Berbeda dengan satu dari 15 unggahan untuk wanita kulit putih.

Studi ini melibatkan sukarelawan untuk proyek Amnesty dan perusahaan rintisan Elemen AI yang berbasis di Montreal, berjudul Troll Patrol. Penelitian menganalisis 228 ribu twit yang dikirim ke 778 politikus dan jurnalis perempuan di seluruh spektrum politik di Inggris dan AS antara Januari dan Desember 2017.

Twitter menanggapi laporan tersebut dengan menjelaskan kebijakan sangat melarang menyebarkan ujaran yang melecehkan, mengintimidasi, atau membungkam suara pengguna lain. Kepala hukum kebijakan dan keselamatan Twitter, Vijaya Gadde, mengatakan keterbukaan penggunaan teknologi dan menggunakan alat yang lebih baik akan bisa mengidentifikasi secara proaktif materi pelecehan dan kekerasan. Tujuannya untuk membatasi penyebaran dan jangkauannya di platform serta untuk mendukung percakapan yang lebih sehat.

Menanggapi temuan tersebut, Menteri Dalam Negeri Bayangan Inggris Diane Abbott, meminta platform media sosial untuk menekan twit rasis dan misoginis yang sangat ofensif. "Staf saya masih menghabiskan banyak waktu menghapus dan memblokir unggahan yang kasar atau mengancam dari media sosial," kata Abbot.

Dia menyoroti ujaran kebencian semacam ini dapat menyebabkan kekerasan. Menurutnya, Twitter memiliki tanggung jawab menutup akun yang membagikan konten tersebut lebih cepat daripada yang saat ini terjadi.

Twitter juga tidak memiliki opsi untuk menghapus komentar ofensif setelah akun diblokir. Ini akan membuat perbedaan pada percakapan yang sedang berlangsung.

Sebuah studi Amnesty terpisah yang diterbitkan pada September 2017 menemukan Abbott, anggota parlemen dari Partai Buruh untuk Hackney North dan Stoke Newington, menerima hampir setengah (45,1 persen) dari semua twit kasar yang dikirim ke anggota parlemen wanita menjelang pemilihan umum tahun itu. Sebelumnya, anggota parlemen Partai Buruh Jess Phillips membuka kabar pelecehan yang ia alami di platform setelah ia menerima ancaman pemerkosaan pada Mei 2016.

Amnesty mengatakan politikus dan jurnalis menghadapi tingkat penyalahgunaan online yang sama. Direktur Amnesty Inggris Kate Allen menjelaskan, tingkat kekerasan dan pelecehan yang luar biasa terhadap perempuan ada di Twitter. Hasil ini mendukung apa yang telah lama dikatakan wanita bahwa Twitter endemik dengan rasialisme, kebencian terhadap perempuan, dan homofobia. Allen pun menuntut perusahaan harus mengambil langkah nyata untuk melindungi hak-hak wanita di Twitter dengan semestinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement