REPUBLIKA.CO.ID, Semilir angin menyambut pagi yang cerah. Langit berselimutkan awan putih mulai menutupi mentari pagi yang mulai meninggi. Hari itu, kesibukan warga Semende Darat Hulu mulai bergeliat. Anak-anak berseragam Pramuka tampak berjalan beriringan. Di antara mereka terdengar suara canda tawa saat menyusuri jalan aspal yang telah berlubang. Langkah mereka sergap.
Lalu, dari celah jendela rumah panggung, terlihat pula pria dewasa dengan kerutan wajah yang sudah menua. Sambil mengisap sebatang rokok, pria itu menyapa ramah. “Naik ke rumah kami, nak!” sapanya kepada Republika.co.id yang tengah menyusuri jalan Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Hulu.
Ah, sungguh keramahan khas desa yang begitu kental terasa. Budaya saling menyapa sudah menjadi keseharian warga. Senyuman pun kerap terhias setiap kali bertemu sesama. Sungguh pagi yang sarat keakraban. Jika mengingat dan membayangkan dengan kehidupan kota besar semacam Jakarta, maka berlabuh ke Semende di pagi itu seperti menjadi pelepas penat yang sungguh menghibur. Tiada kemacetan dan polusi. Ya, udara di Semende begitu segar dihirup. Udaranya seakan mengkalibrasi kotoran yang terselip di paru-paru.
Lalu, keramahan warga itu menjadi paripurna ketika menyusuri pematang sawah yang berada di pinggiran kampung. Tanah-tanah yang subur itu telah berhiaskan sayur-mayur maupun hamparan sawah yang tampak sedang menyemaikan benih padi. Semua itu menjadi daya pikat saat berlabuh di Semende.
Semende merupakan daerah yang berada di Kabupaten Muara Enim, Sumtera Selatan (Sumsel). Di daerah Sumsel, Semende dikenal sebagai salah satu entitas budaya yang kuat di antara banyak suku di provinsi berjuluk Bumi Sriwijaya ini. Dari kota kabupaten, untuk menuju ke Semende, dibutuhkan waktu tempuh sekitar empat jam dengan menggunakan kendaraan roda empat.
Menyusuri wilayah Semende ini, ingatan pun dibawa singgah ke kawasan Lembang di Jawa Barat, sekitar 10 tahun silam. Berada di tengah kawasan Bukit Barisan, Semende ini menjadi salah satu daerah dataran tinggi yang menyimpan pesona alam memikat di Sumsel. Eksotisme alam Semende ini umumnya dihiasi dengan hamparan sawah yang berjenjang dan jalanannya yang berkelok menyusuri tebing bukit.
Di wilayah Semende ini, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Sejak era Reformasi, Semende mengalami pemekaran wilayah menjadi tiga kecamatan. Ketiganya adalah Semende Darat Laut, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Hulu. “Mayoritas penduduk kami adalah petani kopi, padi, dan sayur-mayur,” kata Syarifudin, camat dari Semende Darat Tengah.
Marsal, salah satu pemerhati budaya Semende, menjelaskan perihal daerahnya. Ia menjelaskan secara etimologi, Semende itu terdiri dari tiga suku kata. Se berarti satu dalam bahasa orang Semende. Huruf M pada kata Semende itu mengandung makna Muhammad. Lalu, ende berarti kepunyaan.
“Jadi secara etimologi, satu hanyalah Allah. M itu adalah Muhammad, ende itu kepunyaan. Begitulah diartikannya secara religius,” jelas pria yang pernah menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Serasan Muaraenim.
Konsekuensi dari terjemahan tersebut, Marsal mengatakan, hampir semua penduduk yang ada di wilayah Semende itu beragama Islam. “Di sana 100 persen orang Islam. Orang Cina mau masuk ke sana, tidak bisa,” kata ayah tiga anak ini.
Tradisi Tunggu Tubang
Hal unik dari Semende yang tak dapat ditemukan di daerah lain terkait dengan tradisi tunggu tubang. Marsal menjelaskan tunggu tubang ini merujuk pada arti jabatan atau gelar yang diberikan kepada anak perempuan tertua.
Hak yang melekat dari seorang tunggu tubang, kata dia, mendapatkan warisan pusaka berupa tanah dan rumah. “Harta tunggu tubang ini tidak bisa diperjualbelikan. Harta ini merupakan hak waris yang bersifat turun temurun dan harus dijaga ke generasi selanjutnya,” jelasnya.
Dengan keistimewaan tunggu tubang tersebut, maka seorang pria yang hendak menikahi anak perempuan pertama warga Semende tentunya harus memiliki modal lebih. “Minimal mereka harus menyiapkan kerbau sebagai maharnya,” kata Juarsah, wakil bupati Muara Enim yang juga putera asli daerah Semende. “Tidak ada kata tidak mampu kalau mau mendapat istri tunggu tubang. Karena nantinya mereka akan mendapatkan warisan berupa tanah dan rumah,” lanjutnya.
Tradisi keluarga yang sudah melembaga sebagai adat Semende ini, diakui oleh Juarsah menyimpan nilai positif buat kelangsungan generasi penerus Semende. “Dengan tidak bolehnya menjual harta tunggu tubang maka di Semende ini tidak ada terjadinya alih fungsi lahan,” jelasnya.
Inilah kearifan Semende. Tak hanya mengandalkan alamnya yang eksotis namun Semende juga sangat arif untuk menjaga kelangsungan harta pusaka mereka agar tetap terwarisi kepada generasi penerusnya melalui tradisi tunggu tubang.