REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, DKI Jakarta menempati peringkat pertama sebagai kota dengan angka prevalensi diabetes melitus tertinggi di Indonesia sebesar 3,4 persen. Persentase prevalensi diabetes melitus tersebut naik dalam kurun waktu lima tahun dari data Riskesdas 2013 sebesar 2,5 persen.
"Yang dibawah 2,5 persen dan 3,4 persen itu berdasarkan diagnosis dokter. Jadi yang disurvei sejumlah itu mengaku pernah didiagnosis oleh dokter dia menderita diabetes," ujar Kepala Seksi Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Wisnu Eko Prasetyo kepada Republika.co.id, Ahad (9/12).
Ia menyebutkan, angka prevalensi diabetes berdasarkan pemeriksaan darah pada penduduk usia di atas 15 tahun lebih tinggi, yakni sebesar 6,9 persen pada hasil Riskesdas 2013. Angka itu melonjak pada 2018 hingga mencapai 8,5 persen.
"Bisa dilihat angkanya jauh lebih tinggi dibandingkan yang didiagnosis dokter. Artinya banyak yang sebenarnya diabetes, tetapi belum ketahuan," kata Wisnu.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan DKI Jakarta melakukan upaya menekan pertumbuhan prevalensi diabetes melalui program Cities Changing Diabetes. Program ini merupakan kerja sama dengan PT Novo Nordisk Indonesia tentang pengelolaan penyakit diabetes. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menandatangani kesepakatan itu pada 24 Agustus 2018.
Jakarta menjadi kota ke-17 dari 16 kota di seluruh dunia sekaligus menjadi kota pertama di Indonesia. Ada tiga tahapan yang akan dilalui dalam program Cities Changing Diabetes. Tahapan pertama ialah memetakan tiga masalah utama diabetes yang perlu ditangani segera.
Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), pemetaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif metode survei ke 10 puskesmas di lima wilayah DKI Jakarta. Secara garis besar, penelitian tersebut menghasilkan lima poin kesimpulan.
Pertama, Jakarta merupakan kota dengan prevalensi diabetes tertinggi di Indonesia dengan jumlah yang terus meningkat tetapi masih tetap tidak terdiagnosis. Kedua, obesitasi menjadi salah satu faktor tingginya angka diabetes di Jakarta. Ketiga, tidak terdiagnosis disebabkan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai diabetes.
Keempat, fungsi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (puskesmas) dan Posbindu untuk skrinning diabetes melitus belum optimal. Terakhir, tata laksana diabetes masih belum optimal, hanya 30 persen pasien diabetes yang mencapai target glikemik (zat karbohidrat dalam gula darah).
"Penelitian ini akan segera dirampungkan dalam bulan ini, di mana semua mitra kami akan melakukan diskusi untuk menentukan tiga masalah utama diabetes yang perlu ditangani segera, serta menentukan desain intervensi yang tepat," kata Wisnu.