Jumat 30 Nov 2018 07:01 WIB

Alasan Orang Tua Merasa Bersalah pada Anak

Ahli menilai tak perlu merasa bersalah bila mendisiplinkan anak dengan cara baik

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ibu yang sedang memarahi anak laki lakinya (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Ibu yang sedang memarahi anak laki lakinya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak orang tua merasa bersalah dan berdosa terhadap anak. Ini umum dialami semua ayah dan ibu di dunia. Rasa bersalah ini bisa menuntun orang tua melakukan kebiasaan atau disiplin tidak sehat, seperti menyerah dan menuruti semua keinginan anak sebagai kompensasi karena sebelumnya merasa sudah berbuat salah.

Respons tersebut sebetulnya tidak baik untuk anak. Sobat Republika.co.id rombak rasa bersalah Anda dan pahami bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. Anda kadang juga bisa berbuat salah, dan berikut sejumlah alasan yang mungkin melatarbelakanginya, dilansir dari Verywell Family, Kamis (29/11).

1. Orang tua bekerja

Bekerja mungkin menjadi sumber utama rasa bersalah pada anak, terlebih ibu. Anda pasti merasa bersalah karena meninggalkan anak bersama ibu mertua atau pengasuh di rumah.

Percayalah, ada alasan tepat di balik semua orang tua yang bekerja. Selama Anda selalu menyempatkan diri untuk fisik dan mental anak, tetap memantau tumbuh kembang mereka, tetap menyediakan waktu luang secara berkala untuk keluarga, maka anak kelak akan tumbuh sebagaimana mestinya. Plus, mungkin anak Anda juga senang bisa bermain dengan nenek atau pengasuhnya di rumah.

2. Anak nakal di depan publik

Banyak orang tua malu ketika memarahi anaknya di supermarket atau di toko karena si anak bertingkah laku menyebalkan atau menangis berkepanjangan. Anda dapat mengubah strategi disiplin untuk mengatasi situasi ini.

Pertama, jika anak sudah cukup dewasa untuk mengerti, tetapkan sikap Anda. Pastikan anak mengetahui konsekuensi dari kenakalannya dan benar-benar menegakkannya. Kedua, hindari mengajak anak berjalan-jalan ketika jam tidur siang. Anak bisa bertingkah karena terlalu lelah dan tidak bisa tidur.

Ketiga, rencanakan jadwal jalan-jalan lebih mudah, misalnya mengemas makanan ringan, beberapa item mainan kesukaan anak, pakaian ganti, dan minuman untuk mengalihkan perhatian anak. Anak terkadang nakal di depan umum karena mereka berpikir lebih mudah mendapatkan keinginan mereka di depan umum.

3. Anak terlalu lama menatap gadget

Ini semua tentang keseimbangan. Jika anak menonton TV dan menatap layar gadget sepanjang hari, sudah waktunya mengurangi. Anak cukup satu jam bermain gadget dan dia bisa menonton televisi lebih lama di akhir pekan. Pastikan anak melakukan banyak kegiatan yang dia suka, seperti bermain di luar, melakukan tugas di rumah, bermain building block, atau menggambar.

4. Terlalu sering mengomel

Orang tua yang paling santai sekali pun kadang ada waktunya mengomel hingga berteriak pada anak. Berteriak bisa dibenarkan, misalnya ketika anak tiba-tiba mengejar bola ke tengah jalan raya, atau berlari ke arah jalan umum dan bisa saja terlindas kendaraan.

Anda perlu memilah-milah alasan Anda mengomel dan berteriak. Jika mungkin, pertahankan kesabaran terhadap anak dan belajar terus mengelola amarah. Amarah berlebihan membahayakan kesehatan mental anak.

5. Tak bisa mengabulkan keinginan anak

Biaya membesarkan anak sekarang semakin mahal, mulai dari pendidikan, kesehatan, les ekstra, hobi anak, hingga gadget. Anda mungkin melihat teman anak Anda bersama orang tuanya berlibur ke luar negeri atau bermain video gim terbaru, sementara anak Anda hanya bermain di halaman rumah mengenakan celana lapang dan mainan bekas.

Sebenarnya menawarkan terlalu banyak mainan untuk anak pada masa kanak-kanak bisa menjadi masalah. Jika Anda terus menerus melakukan itu, anak akan tumbuh menjadi materialistis.

Biarkan anak bermain dengan imajinasinya. Anda bisa memfasilitasinya dengan cara-cara sederhana, seperti membuatkan dapur dari kardus, atau menjadikan handuk sebagai jubah superhero.

Anda tak perlu memberi tahu anak bahwa orang tua mereka tak mempunyai uang sebanyak orang tua lain untuk membelikan mainan terbaru. Sebaliknya ajari anak untuk bersyukur atas apa yang sudah dimiliki dan fokus menghabiskan waktu berkualitas bersama anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement