Rabu 28 Nov 2018 07:12 WIB

Peremajaan Organ Kewanitaan, Tren atau Kebutuhan?

Perawatan ini harus dilakukan dokter yang kompeten.

Rep: Santi Sopia/ Red: Ani Nursalikah
Wanita. Ilustrasi
Foto: Womanitely
Wanita. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak wanita yang menganggap tabu membicarakan atau mengonsultasikan masalah pada bagian area kewanitaan. Para wanita memilih menyembunyikan masalah tersebut sehingga memendam penderitaan sendiri.

Ahli kebidanan dan kandungan yang berpengalaman dalam bidang ginekologi estetika Ni Komang Yeni Dhanasari mengatakan rata-rata wanita memang masih malu mengakui masalah tersebut. Menurutnya, peremajaan organ kewanitaan pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan esensial, bukan hanya sekadar tren.

Baca Juga

"Setiap tahap kehidupan wanita selalu ada masalah. Penyebabnya bisa secara genetik sudah terjadi perubahan, karena persalinan, dan lainnya," kata Yeni dalam seminar media di Jakarta, Selasa (27/11).

Dokter dari Bamed Womens Clinic itu menyampaikan keluhan berbagai masalah di area kewanitaan kebanyakan usia 35 sampai 40 tahun yang artinya usia reproduktif. Kemudian dialami wanita yang memasuki usia menopause dimana ebagian besar adalah usia setelah melahirkan.

Keluhan mereka biasanya terkait bentuk, rasa, dan anatomi organ kewanitaan. "Misalnya organ kewanitaan longgar, nyeri saat berhubungan, kurang merasakan sensasi hubungan seksual atau ingin kualitas orgasme lebih baik," katanya.

photo
Pasangan suami istri.

Untuk mengatasinya, banyak alat dan cara mengobati gejala dari gangguan di area kewanitaan tanpa operasi. Saat ini, ada salah satu kemajuan teknologi di bidang ginekologi estetika, yaitu peremajaan organ kewanitaan (vaginal rejuvination).

Teknik ini dianggap memberikan kabar baik bagi perempuan yang mengalami masalah di area tersebut. Pengobatannya bisa menggunakan laser, radiofrequency, prp, fillers, dan botoks.

Dengan alat laser, misalnya, Yeni mengklaim pasien tidak akan merasakan terlalu nyeri. Cara ini merangsang pembentukan kolagen baru. Laser juga membantu anatomi organ kewanitaan menjadi lebih kenyal. Pascaterapi, pasien disarankan tidak berhubungan dalam beberapa pekan,

Sedangkan suntik botoks biasanya diperuntukkan bagi pasien yang kurang rileks saat berhubungan. "Jadi penting juga untuk perempuan nggak cuma faktor kepuasan suami, agar hormon endorfin istri juga bagus," kata dia.

photo

Penelitian awal terkait terapi ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas orgasme, tidak membantu yang belum pernah orgasme, dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Yeni menambahkan, setiap tindakan tentu memiliki risiko dan efek samping.

Dia meminta pasien memilih klinik dan dokter yang sudah tersertifikasi. "Setiap jutaan perawatan hanya terjadi dua kali infeksi. FDA menyampaikan yang melakukannya harus dokter-dokter yang kompeten," katanya.

Cara meminimalisasi efek samping, misalnya dari segi dosis dan pemilihan alat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia. Karenanya konsultasi dokter bisa membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dibandingkan saat pelaksanaan terapi yang cukup singkat.

CEO Bamed Healthcare Group Yassin Yanuar Mohammad mengatakan tindakan peremajaan organ kewanitaan baik secara non-invasif, semi-invasif maupun invasif dapat memperbaiki jaringan area tersebut.

“Kami melakukan edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran perempuan tentang peremajaan organ kewanitaan serta manfaatnya dalam meningkatkan kepercayaan diri dan kualitas hidup,” ujar Yassin yang juga dokter kandungan, Selasa (27/11).

Mengenai prosedur invasif, dokter kandungan Dasep Suwanda menjelaskan, persiapan peremajaan organ kewanitaan dengan metode bedah sama dengan persiapan operasi secara umum, yakni pemeriksaan darah lengkap yang disertai konsultasi dengan dokter anestesi. Apabila ditemukan kendala pada tes laboratorium, pasien harus berkonsultasi dengan dokter yang berwenang. Sesudah menjalani prosedur operasi, pasien harus menyediakan jeda setidaknya enam hingga delapan pekan untuk bisa kembali berhubungan serta olahraga.

“Seperti semua operasi pada umumnya, perawatan bisa saja memiliki risiko perdarahan atau kemungkinan infeksi. Kendati demikian, yang penting diperhatikan, semua prosedur tidak dapat dilakukan saat perempuan sedang hamil. Prosedur boleh dilakukan tiga bulan pascamelahirkan atau ibu menyusui,” kata Dasep.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement