Sabtu 17 Nov 2018 18:42 WIB

Kembangkan Potensi Desa, Belajarlah dari Kampung Flory Jogja

Kampung Flory sukses dalam memanfaatkan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Kampung Flory yang terletak di Desa Tridadi, Sleman, Yogyakarta menyajikan wisata keluarga yang mengombinasikan pendidikan, alam, dan kuliner.
Foto: Dok BI Sumbar
Kampung Flory yang terletak di Desa Tridadi, Sleman, Yogyakarta menyajikan wisata keluarga yang mengombinasikan pendidikan, alam, dan kuliner.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kampung Flory di Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta bisa menjadi percontohan bagi desa-desa di Indonesia terkait pengembangan potensi pedesaan. Kampung kecil yang kini beken di kalangan anak muda ini juga bisa dibilang sukses dalam memanfaatkan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat.

Bagaimana tidak, sejak dirintis tahun 2014 lalu, Kampung Flory kini menjelma menjadi desa wisata yang mampu menarik omzet Rp 600 juta setiap bulan. Bahkan di saat libur panjang, omzet yang dikumpulkan bisa nyari Rp 1 miliar. Kampung Flory menjelma menjadi tempat wisata favorit keluarga. 

Dua pendiri Kampung Flory, Redy Nurhadi (31 tahun) dan Sutrisno Widyanto (36 tahun), berbagi kisah proses pengembangan desa wisata. Redy mengungkapkan, ide untuk melahirkan Kampung Flory bermula dari bincang-bincang sederhana di pos ronda, kembali ke tahun 2014 lalu. Saat itu, ujarnya, empat orang warga yang meronda terbersit ide untuk membentuk sebuah kelompok usaha desa wisata. Idenya sederhana, yakni menyajikan wisata perkebunan di atas sepetak lahan warga.

"Tahun 2015 Kelompok Taruna Tani Flory diresmikan. Kami awalnya manfaatkan lahan untuk budidaya dan pembibitan tanaman hias. Depan rumah saya digunakan untuk tanaman hias," ujar Redy saat menyambut rombongan BI Sumatra Barat, Sabtu (17/11).

photo
Kampung Flory yang terletak di Desa Tridadi, Sleman, Yogyakarta menyajikan wisata keluarga yang mengombinasikan pendidikan, alam, dan kuliner.

Dari pembukaan sepetak lahan untuk pembibitan tanaman hias, Redy dan Wiwid mulai serius memperluas lahan yang dipakai untuk desa wisata. Mereka juga rajin mengundang dinas terkait untuk memberikan pelatihan dan juga sibuk ikut pameran di luar kota. Meski omzet dari pameran tak seberapa, namun Redy mengaku mendapat relasi cukup banyak dari acara-acara semacam itu.

"Semakin ke sini luas lahan tak cukup karena pengembangan makin banyak. Kami buka lahan, awalnya ini sawah dan tegalan yang hasilnya tidak terlalu banyak karena hama burung dan tikus. Kami kerja bakti membuka lahan. Setiap minggu kami buka dan bersihkan lahan," jelas Redy.

Setelah setahun berjalan, Kampung Flory yang menyajikan wisata alam, edukasi, dan kuliner ini semakin dikenal wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Bahkan bagi warga Jogja sendiri, kampung di Sleman ini menjadi salah satu lokasi favorit untuk menghabiskan akhir pekan dan berswafoto sepuasnya dengan latar bunga dan alam pedesaan. Kampung Flory kini dikunjungi 2 ribu orang setiap akhir pekan, dan melonjak hingga 3 ribu orang bila libur panjang tiba.

Meski terbilang sukses, namun pengembangan kampung wisata ini tak lepas dari dinamika yang selalu dialami oleh rintisan usaha: kendornya semangat. Wiwid, salah satu pendiri Kampung Flory, mengaku warga desa setempat sempat 'lelah' membangun kompleks desa wisata tersebut. Bahkan ia mengaku, warga sempat menelantarkan lahan setengah jadi selama dua pekan.

"Memang semangat kadang kendor, kadang kenceng. Tapi banyak kendor. Pernah suatu waktu dua pekan tidak dijamah. Karena sudah jenuh namun belum ada hasil," kata Wiwid.

Kendornya semangat terobati setelah bantuan dana satu per satu bermunculan. Wiwid dan timnya berhasil meyakinkan Pemerintah Provinsi DIY bahwa dirinya serius membangun kampung wisata. Akhirnya, warga desa mendapat hibah berupa bibit tanaman senilai Rp 350 juta dan hibah Rp 500 juta untuk pembukaan lahan.

"Bank Indonesia juga menyumbang dua unit greenhouse untuk tanaman hias dan anggrek. Kami juga mendapat pendampingan," ujar Wiwid.

Wiwid mengungkapkan, salah satu tantangan berat yang dialami para penggagas Kampung Flory adalah kepercayaan warga desa untuk ikut turun tangan membangun kompleks wisata alam. Menurutnya, terpenting bukan bagaimana cara ia 'mengajak' warga untuk menggarap lahan seluas 6,5 hektare tersebut, namun bagaimana ia 'memberi contoh' untuk berwirausaha. Ia menekankan kepada warga untuk bisa menjadi bos di desanya sendiri, alih-alih bekerja kantoran sebagai karyawan.

"Total ada 80 warga desa yang diberdayakan, dengan gaji memenuhi Upah Minimum Provinsi (UMP)," kata Wiwid.

Pengelolaan Kampung Flory melibatkan setidaknya empat desa dengan memanfaatkan tanah desa seluas 6,5 hektar, dengan sistem sewa dan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumbdesa) sebagai bentuk nyata sinergi.

Tujuannya, agar jangan sampai hanya dimanfaatkan orang lain tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat desa itu sendiri. Artinya, Kampung Flory yang dulu hanya hamparan tanah tanpa akses harus benar-benar berubah bermanfaat bagi masyarakat.

"Emasnya itu ada di sungai bedog dan kekompakan kami, itu yang selalu kami jaga," kata Wiwid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement