REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Data Riskesdas 2018 menunjukkan peningkatan terus terjadi dari jumlah perokok di Indonesia. Dari jumlah perokok di atas 15 tahun sebanyak 33,8 persen terdapat 62,9 persen perokok laki-laki dan 4,8 persen perokok perempuan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yayi Suryo Prabandari mengatakan, angka yang meningkat itu cenderung terjadi setiap tahun.
Ia menuturkan, peningkatan jumlah perokok ini dibarengi dengan peningkatan proporsi penyakit akibat konsumsi rokok. Beberapa di antaranya hipertensi, stroke, diabetes, jantung dan kanker.
Pemerintah telah mengatur peringatan bahaya merokok, mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan di kemasan produk tembakau. Tapi, itu tidak memberikan dampak signifikan bagi perokok.
Yayi menyebut, peningkatan jumlah penderita akibat konsumsi rokok berpengaruh dalam peningkatan beban kesehatan negara. Bahkan, pemerintah melirik dana bagi hasil cukai tembakau guna menambal defisit.
"Kebijakan harga rokok seharusnya mahal, sehingga cukai industri rokok naik juga, pajak rokok ini bisa digunakan tidak hanya untuk program kuratif, tapi untuk pencegahan," kata Yayi di FKKKMK, Jumat (15/11).
Terkait itu, ia mengambil contoh di Thailand. Di sana, pajak rokok dan minuman alkohol dialokasikan untuk Badan Promosi Kesehatan yang memberikan program promosi dan preventif.
Belajar dari itu, BPJS harusnya bisa menyediakan anggaran rpeventif, misalnya bagi anggotaprogram untuk penyakit kronis. Artinya, ada dukungan untuk berhenti merokok dan konsultasi pengaturan pola makan.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari mengungkapkan, terdapat tindakan khusus yang dilakukan jika dana jaminan sosial bernilai negatif. Salah satunya melalui sin tax.
Langkah itu merupakan pembiayaan melalui pajak rokok untuk memberikan suntikan dana tambahan bagi kecukupan dana jaminan sosial. Besaran pajak rokok saat ini 10 persennya berasal dari cukai rokok.
Dana bagi hasil cukai tembakau diprioritaskan untuk mendukung JKN paling sedikit 50 persen dari alokasi preventif, kuratif dan rehabilitatif. Lalu, penyediaan sarana prasarana fasilitas kesehatan mitra.
Mulai pelatihan tenaga kesehatan, sampai pembayaran iuran jaminan kesehatan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah atau yang terkena PHK. Maka itu, sin tax jadi salah satu sumber pendanaan untuk mengurangi mismatch JKN.
"Termasuk, untuk pembiayaan akibat merokok," kata Andayani.