Rabu 14 Nov 2018 05:36 WIB

Masyarakat Diimbau Apresiasi Film Karya Anak Bangsa

Penonton diimbau untuk menikmati saja film tanpa mengaitkannya dengan politik.

Penonton mengantre masuk ke studio bioskop di Jakarta.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Penonton mengantre masuk ke studio bioskop di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan antara film Hanum dan Rangga versus A Man Called Ahok yang tengah menjadi tren perdebatan membuat sutradara Indonesia Nurman Hakim angkat suara. Ia meminta penonton Indonesia agar melihat, menikmati dan menghargai kedua film tersebut murni sebagai sebuah film dan karya seni.

"Lepaskan dari konteks politik yang luas, ketika membaca dan menafsir film tersebut. Lihat itu sebagai sebuah film dan karya seni, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan di situ kendati pada saat kita menontonnya dalam hati kita ada ketidaksetujuan," ujar Nurman di Jakarta, Selasa (12/11) malam.

Dia mengajak agar masyarakat menikmati dan mengapresiasi kedua film tersebut sekaligus mendapatkan suatu pesan atau pelajaran dari kedua film tersebut. "Kalau kita datang dan menontonnya dengan pretensi tertentu, apa saja yang disampaikan dalam film itu akan dianggap salah," tutur Nurman.

Dia sendiri akan menyaksikan Hanum dan Rangga serta A Man Called Ahok. Film A Man Called Ahok telah ia tonton lebih dulu, menyusul film Hanum dan Rangga.

Film Hanum dan Rangga serta A Man Called Ahok saat ini mengalami persaingan keras bahkan menjadi bahan perdebatan politik di tengah masyarakat Indonesia. Masyarakat membanding-bandingkan jumlah kursi penonton yang terisi serta mengaitkan film tersebut dengan politik. Tak hanya itu, beredar kabar adanya instruksi untuk nonton bareng mewarnai persaingan kedua film tersebut.

Menurut Nurman, ada unsur lain bersifat nonbisnis memiliki porsi besar yang mewarnai persaingan kedua film ini hingga menjadi bahan perdebatan politik. "Mungkin ada unsur bisnis tapi ada juga unsur lain yang saya rasa porsinya itu lebih besar karena perbedaan pandangan, paham, dan politik dalam konteks antara kelompok A dan kelompok B. Dengan demikian aromanya menjadi politik identitas," katanya usai konferensi pers Borobudur Writers and Cultural Festival.

Nurman memandang seandainya kedua film ini, Hanum dan Rangga serta A Man Called Ahok hadir lima tahun yang lalu atau yang akan datang mungkin persoalan itu tidak akan muncul. "Film sebagai sebuah teks yang untuk memahaminya kita harus melihat konteksnya, tapi ini konteksnya terlalu jauh dan dicari-cari. Hal ini akan mengurangi terkait bagaimana kita akan membaca teks film," ujarnya.

Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, akan banyak ulasan yang menarik-narik film itu ke dalam konteks yang terlalu luas tersebut. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ulasannya justru tidak membahas mengenai film itu sendiri.

"Itu berpengaruh pada perolehan jumlah penonton," katanya.

Nurman juga menambahkan karena hal tersebut akhirnya film sebagai sebuah teks dibaca dengan konteks yang terlalu luas.

Hanum dan Rangga mengisahkan kisah romansa suami-istri yakni Rangga dan Hanum di negeri orang dimana Hanum berupaya mengejar cita-citanya untuk berkarier di sebuah media serta pengorbanan Rangga sebagai seorang suami. Sedangkan A Man Called Ahok menceritakan kisah drama mengenai hubungan Ahok atau bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama dengan ayahnya serta bagaimana awal mula terbentuknya karakter, dan hal-hal yang membuat Ahok menjadi sosok yang dikenal masyarakat seperti sekarang. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement