REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- DIY memiliki jumlah lanjut usia (lansia) tinggi dengan daya tampung Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang belum maksimal. Karenanya, perlu ada perhatian lebih yang diberikan untuk menangani permasalahan sosial tersebut.
Persoalan lansia memang memerlukan satu penanganan yang tidak biasa. Walaupun masuk permasalahan sosial, penanganannya membutuhkan elemen-elemen khusus yang tidak bisa ditangani program-program biasa.
Kepala Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Yogyakarta, Fatchan mengatakan, DIY saat ini memiliki sekitar 45.765 masyarakat lansia. Angka itu memang sudah turun jika dibandingkan 2016 yang mencapai 46 ribu lebih.
Sayangnya, penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Hal itu dikarenakan daya tampung yang dimiliki LKS-LKS tidak terlalu tinggi. LKS seperti Balai PTSW Yogyakarta misalnya, hanya mampu menampung sekitar 214 lansia.
Untuk itu, kehadiran LKS-LKS swasta dirasa cukup membantu pengurangan jumlah lansia yang tidak dapat tertangani pemerintah. Walau tidak mengetahui secara pasti jumlahnya, LKS-LKS swasta mampu memberi bantuan berarti.
Tapi, lagi-lagi, itu belum cukup menangani tingginya jumlah lansia yang memang menjadi tanggung jawab bersama. Terlebih, bagi mereka lansia-lansia yang sudah terlantar dan tidak memiliki keluarga untuk mengurusnya.
"Sebab, LKS-LKS pemerintah baru mampu menangani sekitar 214 klien tiap tahun, yang belum tertangani dilakukan LKS-LKS swasta," kata Fatchan, kepada Republika.co.id.
Itupun, terpisah dua lokasi, dan secara praktis Balai PTSW Yogyakarta menampung di Sleman menampung 126 klien dan Bantul 88 klien. Itu terdiri dari 72 klien laki-laki dan 142 klien perempuan.
Sesuai UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, mereka yang masuk kategori lansia yang sudah berusia 60 tahun ke atas. Kalaupun ada angka lebih di LKS-LKS, itu merupakan lansia khusus yang memang membayar.
Selain menampung, Balai PTSW Yogyakarta turut memiliki peran sosialisasi kepada masyarakat, dan mendampingi lansia sampai wafat. Termasuk, perawatan yang memang harus dilakukan sampai penguburan.
Pengelolaan Balai PTSW menggunakan APBR murni dari Pemprov DIY. Sayangnya, walau sudah menjadi wewenang provinsi, pengurangan jumlah lansia dan peningkatan daya tampung LKS-LKS belum dapat berubah secara signifikan.
Selama ini, persoalan lansia cukup terbantu pula karena Dinas Sosial DIY turut membentuk LKS masing-masing kelurahan maupun kecamatan. Tapi, ini lebih kepada pemantauan bukan penanganan total seperti Balai PTSW.
"Harapan, ke depan ada beberapa penanganan lansia yang bisa dilakukan atau bisa ditangani institusi-institusi lain sesuai tupoksinya, termasuk medis yang bisa lebih dimaksimalkan lagi penanganannya," ujar Fatchan.
Senada, pakar geriatri RSPUD Dr Sardjito, Dr Probosuseno mengingatkan, di DIY sendiri gangguan fisik lansia didominasi sejumlah penyakit. Mulai radang sendi, tekanan darah tinggi, bronchitis, maupun kencing manis.
Hal itu dikarenakan gaya hidup tidak sehat, kurang olah raga, obesitas, pola makan salah yang bahkan memicu terjadinya penyakit jantung dan stroke. Penyakit itu sendiri merupakan ancaman lansia masa depan.
"Hal ini bisa terjadi jika tidak sedini mungkin menerapkan pola hidup sehat dan banyak makan sayur serta buah," kata Probosuseno.
Summer course
Di satu sisi, fakta kondisi itu menarik kepedulian Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM). Selama tiga pekan, FKKMK menggelar kegiatan khusus berkonsep summer course.
Kegiatan yang digelar ketiga kali sejak 2016 mengusung konsep Interprofessional Health Care, mengangkat tema Health Related Program in Elderly. Kegiatan diikuti 57 peserta terdiri dari 34 mahasiswa UGM dan 23 mahasiswa mitra luar negeri.
Koordinator Lapangan Summer Course, Abdul Wahab menuturkan, kegiatan dilakukan pada 29 Oktober-16 November 2018. Tujuannya, agar mahasiswa-mahasiswa bertukar pengalaman pelayanan lansia dari masing-masing negara yang pastinya berbeda.
Selain mahasiswa, kegiatan turut diikuti dosen-dosen. Harapannya, kegiatan ini benar-benar mampu menghadirkan satu integrasi lintas disiplin soal penanganan lansia, yang akan diaplikasikan pada masa mendatang.
Untuk itu, setelah mendapat pembekalan di kampus, peserta-peserta akan langsung diterjunkan ke lapangan setidaknya selaman dua pekan. Mulai dari panti jompo, sampai ke puskesmas-puskesmas yang ada di Kabupaten Kulonprogo.
"Pemilihan itu karena memang puskesmas-puskesmas di Kulonprogo dirasa memiliki program-program inovatif bidang pelayanan masyarakat, termasuk lansia," ujar Abdul.