Rabu 31 Oct 2018 12:25 WIB

Terapi Tidur tidak Mempan untuk Anak Down Syndrome

Peneliti menduga karena faktor REM yang berbeda antara anak normal dan down syndrome

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ilustrasi Anak Laki Laki Sedang Tidur
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ilustrasi Anak Laki Laki Sedang Tidur

REPUBLIKA.CO.ID, TUCSON -- Bagi anak-anak kebanyakan, terapi tidur siang membantu mereka belajar dengan lebih baik. Namun, peneliti menyoroti bahwa terapi tersebut tidak mempan untuk anak yang mengidap down syndrome.

Kondisi demikian diteliti oleh tim periset dari Universitas Arizona di Kota Tucson, Arizona, Amerika Serikat. Dipimpin oleh profesor psikologi Jamie Edgin, tim menganalisis 25 anak pengidap down syndrome dan 24 anak yang tidak mengidapnya.

Mereka melakukan uji sederhana untuk mengetahui kemampuan anak untuk mengingat kata-kata baru. Peserta diuji dalam berbagai kondisi berbeda, yakni beberapa waktu setelah diajarkan, dengan tidur siang, dan tanpa tidur siang.

Anak-anak yang berkembang secara normal lebih mampu mengingat kata baru pada sesi empat jam dan 24 jam setelah kata itu diajarkan. Dengan kondisi, mereka tidur siang selama 90 menit tidak lama setelah mengajarkan.

"Sama sekali berbeda dengan anak-anak yang mengidap down syndrome. Tidur siang setelah belajar tidak membuat mereka menyimpan informasi dengan baik," kata peneliti Jamie Edgin, dikutip dari laman HealthDay.

Dia menduga itu karena fase tidur Rapid Eye Movement (REM) yang berbeda antara dua kelompok peserta. Tahapan tidur normal yang ditandai gerakan mata, denyut nadi, dan pernapasan yang lebih cepat itu diprediksi berkaitan dengan penyimpanan informasi.

Bisa jadi, saat tidur, pengidap down syndrome memiliki fase REM yang lebih singkat dibandingkan anak yang tidak mengidapnya. Sudah ada beberapa studi yang membuktikan bahwa siklus tidur REM yang lebih singkat menunjukkan arsip memori yang lebih buruk.

Edgin berharap, ada penelitian lanjutan yang bisa mencermati efek tidur siang terhadap proses pembelajaran anak-anak down syndrome. Studi telah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement