Jumat 05 Oct 2018 10:14 WIB

Kompromi dalam Memasyarakatkan Jaz

'Kompromi cukup sah dilakukan selama ada win-win solution."

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yudha Manggala P Putra
Grup band /rif tampil pada acara Prambanan Jazz 2017 di Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (19/8).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Grup band /rif tampil pada acara Prambanan Jazz 2017 di Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wahyu Suryana, Jurnalis Republika

SLEMAN -- Ragam gelaran musik jaz sudah banyak muncul di Indonesia. Namun, memasyarakatkan musik jaz masih terus dilakukan, mengingat segmentasi penonton gelaran-gelaran yang ada masih berputar di penikmat musik tertentu saja.

DI Yogyakarta memiliki ciri khas tersendiri dalam menampilkan seni-seni pertunjukkan seperti musik. Kreativitas itu memang banyak dipengaruhi seni itu sendiri yang sudah mendarah daging dalam masyarakat.

Namun, untuk musik jazz, memasyarakatkannya tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Secara umum, kesulitan itu sebenarnya dihadapi hampir seluruh dunia, tidak cuma di Indonesia.

Bahkan, di AS sendiri yang sudah memiliki banyak sekali wadah pengembangannya, musik jaz masih sulit jadi arus utama. Belakangan, musik perkembangan musik dance dan RnB melesat jauh meninggalkan perkembangan jazz.

Di Indonesia, malah sudah terbentuk satu segmentasi kalau jazz bukan musik rakyat. Dibanding jazz, musik-musik seperti rock, dangdut, pop atau bahkan melayu silih berganti mengisi musik arus utama.

Belakangan, musisi-musisi RnB seperti Raisa Andriana dan Isyana Sarasvati cukup bisa memasyarakatkan musik-musik jaz dari segi konsumen. Meski begitu, kesuksesan serupa masih sulit terlihat di konser-konser.

Sejumlah gelaran-gelaran jaz, walau lebih baik secara kuantitas penonton, penikmatnya masih didominasi pecinta jaz. Untuk kaliber besar, kompromi dilakukan promotor-promotor demi bisa menanggulangi itu.

Salah satu cara andalannya, dengan menghadirkan penampil-penampil yang tidak melulu beraliran jaz. Untuk mendongkrak penjualan tiket, sampai saat ini cara itu terbilang cukup terasa keberhasilannya.

Di DI Yogyakarta, setidaknya ada tiga konser jaz berkaliber besar yang rutin terselenggara. Mulai dari Economics Jazz, Ngayogjazz sampai Prambanan Jazz masih bertahan hingga kini.

Economics Jazz, yang tahun ini berganti nama menjadi UGM Jazz, sudah digelar untuk ke-24 kalinya. Sedangkan, Ngayogjazz sudah mampu terselenggara 11 edisi dan Prambanan Jazz memasuki tahun keempat.

Uniknya, tiga gelaran musik jazz itu masing-masingnya menawarkan nuansa yang berbeda. Economics Jazz misalnya, banyak menarik kalangan kampus dan cukup tepat diusung di Yogyakarta yang merupakan Kota Pelajar.

Ngayogjazz, yang kerap digelar secara cuma-cuma, banyak mengambil tempat di tengah-tengah kampung. Segmentasi memang menjadi beragam karena cukup banyak masyarakat luas yang menikmatinya.

Sedangkan, Prambanan Jazz, digelar di salah satu landmark budaya dari DI Yogyakarta. Hasilnya, banyak penontonnya yang datang demi merasakan nuansa menonton konser yang berbeda dari gelaran-gelaran lain.

Ketiganya turut memberikan kompromi-kompromi tertentu, demi bisa meluaskan jangkauan musik jaz yang disajikan. Utamanya, tentu dari pengisi, yang tidak saklek musisi-musisi jaz murni saja.

Economics Jazz tahun ini, salah satunya menghadirkan Ruth Sahanaya mengimbangi idelisme musik yang diusung pianis legendaris Bob James. Pun Ngayogjazz tahun lalu, menampilkan Gugun Blues Shelter mengimbangi musisi-musisi jazz yang ada.

Serupa, Prambanan Jazz, malah mungkin jadi yang paling kompromi karena sudah luluh untuk menghadirkan musisi-musisi arus utama. Selain memberi warna, toh cara-cara itu terbukti mengimbangi kebutuhan penjualan tiket yang ada.

Tentunya, tidak ada yang menyalahkan kompromi-kompromi itu dilakukan. Lagipula semua itu dilakukan tidak lain demi bisa lebih memasyarakatkan jaz, sehingga festival-festival jaz tidak melulu soal gengsi.

Artinya, festival-festival yang diharapkan menebarkan jaz, turut mengimbangi kebutuhan bisnis. Sehingga, kompromi cukup sah dilakukan jika ada win-win solution, yang menenangkan promotor tanpa mengurangi nilai-nilai yang wajib didapatkan konsumen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement