REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pria dengan riwayat mengonsumsi minuman keras (miras) memiliki kemungkinan besar untuk menderita kanker prostat. Peneliti menemukan peningkatan risiko hingga tiga kali lipat dari pria yang mengonsumsi minuman beralkohol.
Penelitian yang dipublikasikan di Cancer Prevention Research mendapatkan gambaran biopsi prostat ditemukan pada mereka yang memiliki riwayat mengonsumsi tujuh gelas atau lebih miras per pekan. Mereka lebih mungkin terkena tumor agresif, daripada bukan peminum.
Risiko besar ini bisa terjadi meski mereka mengonsumsi miras pada usia muda atau usia 15 hingga 19 tahun atau dalam beberapa tahun kemudian. Namun, tidak ada kaitan antara konsumsi alkohol saat ini dan tingkat tumor.
Hasil penelitian ini adalah untuk melihat kelompok usia termuda dan efek merusak pada prostat yang sedang berkembang. Bahaya ini pun ternyata tidak menghantui kaum muda saja, setelah beberapa tahun kemudian risiko pun tetap ada.
"Ini menyoroti kebutuhan untuk melihat seluruh masa hidup jika Anda ingin memahami apakah alkohol memiliki peran dalam perkembangan atau agresivitas kanker prostat," kata penulis senior studi tersebut Emma Allott, yang mengawasi penelitian sementara anggota fakultas di University of North Carolina, Chapel Hill, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (24/8).
Allot belum siap untuk menyuruh pria berhenti minum. Perlu ada lebih banyak penelitian yang mendukung studinya sebelum berbagai rekomendasi dibuat.
Dosen di Queens University, Belfast, dan rekan-rekannya menganalisis data yang dikumpulkan dari 650 orang yang menjalani biopsi prostat di Pusat Medis Durham Veterans Affairs di North Carolina antara Januari 2007 dan Januari 2018. Mereka dalam penelitian, berusia antara 49 hingga 89 tahun. Mereka tidak memiliki riwayat riwayat kanker prostat sebelumnya.
Populasi penelitian sangat beragam, 54 persen peserta tidak berkulit putih. Itu menjadi penting, karena kanker ini menyerang kebanyakan orang Afrika-Amerika daripada orang kulit putih.
Pemantauan itu digabungkan dengan informasi konsumsi alkohol, faktor medis, dan gaya hidup lainnya yang berasal dari kuesioner yang diisi oleh laki-laki. Peneliti juga melihat paparan alkohol seumur hidup dan menemukan lebih dari tiga kali lipat peningkatan risiko tumor bermutu tinggi pada pria yang mengonsumsi lebih dari 10.660 minuman atau sekitar satu gelas sehari selama 30 tahun.
Salah satu faktor pembaur potensial adalah banyak pria dengan tumor kelas tinggi juga merokok. Ada beberapa penelitian, menurut Allott, yang menunjukkan kalau merokok dikaitkan dengan tingkat tumor yang tinggi.
"Karena alkohol dan merokok adalah dua perilaku yang berjalan beriringan, sulit untuk menggoda efek potensial alkohol dari merokok," ujar Allott.
Para ahli pun sepakat penelitian yang satu ini tidak cukup untuk menyarankan rekomendasi baru mengenai konsumsi alkohol. Hal ini sesuai dengan pemikiran Allott.
"Jika saya adalah orang yang mabuk yang banyak minum di masa muda saya, saya tidak akan terlalu khawatir. Studi ini memiliki keterbatasan. Untuk satu hal, ini adalah asosiasi (bukan bukti penyebab). Juga, mereka tidak menemukan alkohol meningkatkan risiko kanker prostat, namun sebaliknya sebagian pria mungkin berisiko untuk penyakit tingkat tinggi," kata Dr Christopher Saigal dari University of California, Los Angeles Jonsson Comprehensive Cancer Center, yang tidak terlibat dalam penelitian.
Penelitian ini tidak cukup besar bagi ilmuwan untuk dapat mengetahui apakah gaya minum pria, seperti mengonsumsi minuman satu atau dua gelas setiap hari atau berlebihan pada akhir pekan memiliki dampak. Namun, ini bisa memberi petunjuk pada risiko relatif tinggi paparan alkohol.
Tapi, ada banyak alasan lain mengapa pria muda tidak boleh minum setiap hari. Sebab, sudah banyak contoh berbahaya yang ditimbulkan dari konsumsi miras kronis dan penelitian ini menunjukkan hubungan untuk mengembangkan kanker lebih ganas.
"Cocok dengan apa yang kita ketahui tentang kanker prostat. Sudah puluhan tahun dalam pembuatan. Mutasi dimulai pada awal masa dewasa dan berkembang selama beberapa dekade," kata Dr Leonard Appleman dari University of Pittsburgh Medical Center di Pennsylvania.