Kamis 12 Jul 2018 06:15 WIB

Kuliner Halal Nusantara Perlu Campur Tangan Pemerintah

Banyak kuliner Indonesia yang sudah terkenal di manca negara.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Irwan Kelana
Penjaja makanan tradisional Gudeg di Yogyakarta.
Foto: Antara
Penjaja makanan tradisional Gudeg di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuliner nusantara sangat beraneka ragam. Setiap daerah bahkan setiap kota dan desa memiliki makanan khas tersendiri. Makanan khas nusantara yang kini sudah terkenal di mancanegara adalah rendang dan sate.

Rendang dan sate menjadi juara makanan terlezat di dunia. Tak heran, makanan yang umumnya berbahan dasar daging sapi ini terkenal lezat karena menggunakan aneka bumbu rempah khas nusantara.

Pegiat Kuliner Wahyu Indra Sakti Saidi mengatakan,  tak hanya rendang dan sate yang dapat menjadi kuliner unggulan Indonesia baik untuk domestik maupun dikenal di mancanegara. Makanan berbahan dasar daging yang dapat dikenal di negara lain seperti soto dan sop.

"Berbagai daerah memiliki soto dengan kekhasannya masing-masing demikian juga  dengan sop, seperti sop konro yang terkenal berasal dari Makassar, pindang ikan Palembang dan soto Medan," jelas Wahyu  kepada Republika.co.id, Selasa (10/7).

Tak hanya itu, untuk olahan ayam, makanan yang dapat dijual di manca negara di antaranya ayam gudeg Yogyakarta, ayam asap Kalimantan, dan ayam ungkep. Selain itu, cakalang, jengkol, petai dan ikan teri menjadi masakan khas Indonesia yang rasanya mudah diterima lidah asing.

Namun, kata Wahyu, selain memperkenalkan makanan khas nusantara yang halal, lebih dari itu harus  ada campur tangan pemerintah. Selama ini masakan rendang dan sate menjadi makanan terlezat di dunia, tetapi Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari penghargaan itu.

Tidak ada keuntungan dari gelar makanan terlezat. Kuliner nusantara apalagi halal belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah untuk serius ditangani.

"Padahal rendang olahan daat menjadi komoditas ekspor yang dapat dikelola secara terstruktur dan masif. Saat ini memang ada beberapa pengusaha yang melakukannya tetapi itu hanya sporadis saja," jelas dia.

Berkaca dari negara lain di wilayah Asia Tenggara, kata Wahyu, mereka sangat serius untuk menggarap industri kulinernya. Thailand misalnya, bagi pengusaha yang ingin membuka restoran khas negaranya maka pemerintah menyubsidi bahan-bahan pokok bahkan bumbu rempah-rempahnya.

Mereka diwajibkan menggunakan bahan dan rempah khas Thailand agar rasa dan kualitasnya sama dengan makanan asli yang berada di Thailand. Ini tak hanya memajukan pengusaha restoran saja tetapi juga petani dan peternak yang hasilnya dimanfaatkan untuk kuliner.  “Sehingga,  konsumen dapat terjangkau mengkonsumsi makanan khas Thailand, karena pengusaha terbantu oleh pemerintahnya,” tuturnya.

Sedangkan Indonesia, banyak memang restoran Indonesia yang berdiri di negara lain. tetapi itu hanya insiatif pengusaha tanpa ada dukungan penuh dari pemerintah. Banyak rempah-rempah  untuk masakan yang sulit ditemukan di negara lain. Jika pun ada harganya mahal, dan tentu saja jika menggunakannya maka harga masakan menjadi snagat mahal karena bahan dasar yang sulit didapat.

"Pengusaha bagaimanapun tidak ingin repot dan merugi. Sehingga,  ketika bahan ada tetapi harga mahal maka harga makanan yang dihasilkan pun harus dijual dengan harga tinggi untuk mendapatkan untung," ujarnya.

Soal kehalalan, Indonesia pun tidak luwes. Ini karena sertifikasi halal yang didapatkan hanya dapat digunakan untuk restoran dan makanan instan yang dikonsumsi di Indonesia. “Sedangkan untuk makanan olahan ekspor tidak dapat dicantumkan logo halal. Kalaupun boleh, harus ada biaya tambahan,” paparnya.

Wahyu mencontohkan, Indomie bisa mendapatkan label halal karena mampu membayar harga yang mahal. “Ini tidak dapat dilakukan oleh pengusaha dengan modal yang minim tetapi hendak merambah pasar internasional,” tuturnya.

Menurut Wahyu, bukan pemerintah Indonesia tidak peduli, hanya saja langkah aksinya yang belum ada karena potensi kuliner halal ini belum dilirik secara serius. Saat ini belum ada satu restoran Indonesia yang mendapatkan subsidi pemerintah untuk mengembangkan makanan khas nusantara.

Minimal Indonesia dapat melakukannya di Malaysia dan Singapura sebagai negara terdekat. Di sana banyak makanan khas Indonesia yang dijual seperti rendang, soto, dan sate. “Tetapi apakah dapat dipastikan jika bahan-bahannya sama dengan khas bumbu rempah Indonesia? Ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah,” paparnya.

Ia menyebutkan, dari satu makanan saja, banyak rempah-rempah  yang bisa dijadikan komoditas ekspor ke berbagai negara terutama restoran Indonesia yang wajib menggunakannya. Ini tentu menjadi keuntungan juga bagi negara.

Menurut Wahyu, saat ini gerak pemerintah untuk kuliner halal nusantara baru sebatas pameran saja. Belum secara nyata terjun dalam dunia bisnis. “Akan membanggakan misalnya daun jeruk dan daun salam Indonesia menguasai pasar global,” ujar Wahyu Sakti Saidi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement