Jumat 08 Jun 2018 07:30 WIB

Mengenal PTSD, Gangguan Mental yang Dialami Ariana Grande

PTSD diperkirakan dialami satu dari tiga orang yang mengalami kejadian traumatis.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ariana Grande.
Foto: AP
Ariana Grande.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bom bunuh diri yang terjadi saat konser Ariana Grande pada 22 Mei 2017 tak hanya meninggalkan luka di hati keluarga korban maupun Ariana. Peristiwa yang menewaskan 22 orang ini juga menyebabkan Ariana harus bergelut dengan post traumatic stress disorder (PTSD).

Ariana mulai bergelut dengan gejala-gejala PTSD sesaat setelah serangan bom bunuh diri itu terjadi. Ariana merasa sulit untuk membicarakan hal ini karena ada banyak orang yang merasakan kehilangan mendalam akibat peristiwa tersebut.

"Saya rasa saya tidak tahu bagaimana caranya membicarakan peristiwa tersebut dan tidak menangis (setelahnya)," ungkap Ariana seperti dilansir BBC.

PTSD merupakan sebuah gangguan kecemasan yang disebabkan oleh sebuah peristiwa yang sangat menakutkan, sangat membuat tertekan, maupun sangat menyedihkan. PTSD sering kali dikaitkan dengan prajurit yang bertugas dalam medan peperangan.

Seseorang dengan PTSD akan cukup sering terbayang-bayang kembali tentang peristiwa buruk yang ia alami melalui mimpi maupun ingatan. Penderita PTSD juga dapat mengalami rasa terisolasi, mudah tersinggung, merasa bersalah, sulit tidur, hingga sulit berkonsentrasi.

Jika tak ditangani, gejala-gejala PTSD dapat memberi pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari penderitanya. PTSD dapat muncul sesaat setelah peristiwa traumatis terjadi atau berpekan-pekan, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatis terjadi.

Dalam kondisi normal, seseorang yang menghadapi peristiwa traumatis biasanya akan membaik secara alami dalam beberapa pekan. Namun, orang-orang dengan PTSD biasanya tetap mengalami masalah hingga empat pekan setelah melewati peristiwa traumatis.

Seseorang yang merasakan gejala-gejala PTSD sebaiknya mencari pertolongan dokter spesialis kejiwaan untuk mendapatkan pertolongan yang tepat. PTSD dapat diterapi dengan berbagai metode, sesuai dengan kondisi penderitanya.

Salah satu opsi terapi adalah pemantauan gejala dengan saksama. Pemantauan ini bertujuan untuk melihat apakah gejala-gejala PTSD membaik dengan sendirinya atau justru makin memburuk tanpa terapi.

Opsi terapi lain adalah psikoterapi seperti trauma-focused cognitive behavioural therapy (CBT) atau eye movement desensitisation and reprocessing (EMDR). Penggunaan obat antidepresan seperti paroxetine atau mirtazapine juga bisa menjadi opsi terapi bagi penderita PTSD.

"PTSD diperkirakan dialami oleh sekitar satu dari tiga orang yang mengalami peristiwa traumatis," kata laman NHS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement