REPUBLIKA.CO.ID, NTB -- Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal dengan julukan Pulau Seribu Masjid. Julukan diberikan karena begitu banyaknya masjid di pulau ini. Tak sekadar banyak, masjid-masjid di Lombok juga tampil dengan penuh warna, gagah, kubah berukuran besar, hingga menara yang menjulang tinggi.
Dari udara, pesona masjid-masjid dengan ragam kubah besar sudah bisa disaksikan sesaat sebelum mendarat di Bandara Internasional Lombok yang berada di Lombok Tengah. Pulau ini sendiri terbagi atas empat kabupaten: Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Utara, dan Lombok Timur. Di antaranya ada Kota Mataram.
Pertanyaan yang sering mengemuka ialah benarkah jumlah masjid di Lombok ada seribu? Dari mana asal mula julukan itu datang?
Tanda tanya ini penting dijawab karena menyangkut citra wisata halal atau moslem friendly tourism yang digencarkan Pemerintah Provinsi NTB. Pulau Seribu Masjid sebagai salah satu indikatornya.
Merasa terpanggil memberikan sumbangsih bagi tanah kelahirannya, Taufan Hidjadz seorang Dosen Jurusan Desain Interior Institut Teknologi Nasional Bandung menjawab pertanyaan di atas melalui sebuah buku. Judulnya sangat menarik dan di luar kebiasaan, yakni Lombok, Negeri Beribu Masjid. Kata seribu masjid yang populer, ia ganti dengan kata beribu dalam judul bukunya.
Bukan tanpa pertimbangan. Pria kelahiran Mataram itu menjelaskan, buku setebal 258 halaman ini berangkat dari sebuah penelitiannya berjudul "Arsitektur Mesjid Sebagai Adaptasi Keberlanjutan Orientasi Ruang dan Representasi Budaya Sasak di Lombok". Studinya dibiayai Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Nasional Bandung.
Taufan menjelaskan, ide awal membuat buku tentang banyaknya masjid di Lombok berawal dari kegiatannya membawa mahasiswa-mahasiswa jurusan arsitektur ke Lombok. Banyak dari mahasiswa dan dosen-dosen yang ikut dalam rombongan bertanya tentang mengapa begitu banyak masjid di Lombok.
"Saya berharap buku ini membantu menjawab pertanyaan mengapa di Lombok begitu banyak mesjid sehingga disebut sebagai Pulau Seribu Mesjid padahal lebih dari itu, dari 518 desa di Lombok, ada sekitar hampir 9 ribuan masjid," kata Taufan.
Ya, jumlah masjid di Lombok nyatanya lebih banyak dari seribu. Pria yang pernah menjadi Ketua Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) pada 2006-2010 mengungkapkan itu melalui hasil penelitian yang ia lakukan selama sekitar dua tahun.
Ia mendapati, dari 518 desa kantong hunian di Lombok terdapat 3.676 masjid desa yang besar (jami') dan 5.184 masjid dusun dengan ukuran lebih kecil. Jika ditotal jumlah masjid di Lombok mencapai 8.951 masjid atau hampir 9 ribu masjid.
"Setiap kantong desa ada beberapa dusun dan setiap dusun memiliki paling tidak satu masjid yang terlihat menonjol karena fisik bangunannya cukup besar," lanjutnya.
Jangan kaget jika kemudian terdapat masjid dengan ukuran besar saling berhadapan di sebuah kampung. Tak jarang warga menggelar shalat Jumat di salah satu lokasi secara bergantian.
Awal Julukan Pulau Seribu Masjid
Sebutan Lombok sebagai Pulau Seribu Masjid berawal dari kunjungan kerja Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Effendi Zarkasih pada 1970. Kala itu, Effendi meresmikan Masjid Jami Cakranegara. Saat meresmikan, Effendi terkesan sekali dengan banyaknya masjid di Lombok.
"Kalau boleh saya beri julukan, (Lombok) negeri atau Pulau Seribu Masjid dan sampai sekarang dikenal itu," kata Taufan menirukan ucapan Zarkasih.
Menurut dia, masjid merupakan artefak penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kolektif masyarakat di Lombok dalam semua aspek. Kata Taufan, masjid menjadi tanda bagi keberadaan kolektif masyarakat Sasak, dari tingkatan dusun, desa dan kota sebagai umat muslim.
"Tanpa masjid maka kehidupan kolektif seperti kehilangan pusat orientasi ruang dan tidak semua kegiatan seolah tidak punya rujukan dan makna apapun," ucap Taufan.
Representasi budaya masyarakat Sasak akan masjid sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW. Taufan berharap, masjid menjadi sumber pengembangan aspek-aspek kehidupan syar'i lain seperti ekonomi, wisata, pendidikan yang menyejahterakan kehidupan kolektif masyarakat Sasak.
Taufan menyebutkan, pola hunian tradisional Sasak --masyarakat Lombok- dibentuk oleh tata nilai. Itu mengikat masyarakatnya dalam suatu ruang budaya dengan sistem sosial kekerabatan yang kemudian membentuk pola lingkungan khas.
Terbentuknya struktur ruang budaya Sasak karena determinasi hubungan ruang dengan kegiatan terpola dari kehidupan sehari-hari yang dijalani. Dilandasi oleh cara pandang masyarakat terhadap dunia (worldview) berbasis Islam yang menjadi semacam way of life.
"Cara hidup masyarakat Sasak tidak lain adalah bentuk konkret dari nilai-nilai budayanya yang menjadikan masjid sebagai pusat orientasi," ungkap dia.
"Pola ini membentuk kantong hunian tradisional yang khas ber-hierarki, dari ruang kekerabatan keluarga (bale langgak), kemudian dusun, sampai desa yang membentuk pola hubungan terstruktur dengan masjid."